Rabu, 30 November 2016

Pengetahuan filsafat



Kembali ke contoh jeruk yang sudah dijealaskan pada postingan sebelumnya. Jeruk ditanam maka buahnya yang muncul adalah buah jeruk. Pengetahuan jenis ini sudah berguna bagi petani jeruk, bagi pedagang jeruk dan bagi seluruh manusia. Pengetahuan jenis ini sudah berguna dalam memajukan kebudayaan.

Pengetahuan ini benar asal rasional dan empiris. Inilah prinsip dalam mengukur benar tidaknya teori dalam sains, ya dalam sains apa saja. Dalam hal ini harap hati-hati jangan sampai tertipu oleh bukti empiris saja, seperti contoh gerhana dan kentongan tadi.  Harus rasional-empiris. Gerhana tadi: tidak rasional tetapi empiris. Jadi, pengetahuan sains ini, sekalipun tingkatnya rendah dalam struktur pengetahuan, ia berguna bagi manusia. Gunanya terutama untuk memudahkan kehidupan manusia. Terutama teori-teori sains inilah yang diturunkan ke dalam teknologi. Teknologi, agaknya bukanlah sains; teknologi merupakam penerapan teori sains. Atau mungkin juga dapt dikatakan bahwa teknologi itu adalah sains terapan.

Selanjutnya. Sebagian orang, tidak begitu banyak,  ingin tahu lebih jauh tentang jeruk tadi. Mereka bertanya, “mengapa jeruk selalu berbuah jeruk?” untuk menjawab pertanyaan ini kita tidak dapat melakukan penelitian empiris karena jawabannya tidak terletak pada batang atau daun jeruk. Lantas bagaimana menjawab pertanyaan ini. kita berpikir. Inilah jalan yang dapat ditempuh. Tidak harus berpikir di kebun jeruk; berpikir itu dapat dilakukan di mana saja. Yang dipikirkan memang jeruk, yaitu mengapa jeruk selalu berbuah jeruk tetatpi yang dipikirkan itu bukanlah jeruk yang empiris, yang dipikirkan itu adalah jeruk yang abstark, yaitu jeruk pada umumnya.

Bila anda berpikir secara serius, maka akan muncul jawaban. Ada dua kemungkinan jawaban. Pertama, jeruk selalu berbuah jeruk karena kebetulan. Jadi, secara kebetulan jeruk selalu berbuah jeruk. Inilah teori kebetulan yang terkenal itu. Teori ini lemah.  Ia dapat ditumbangkan oleh teori kebetulan itu sendir. Kedua, jeruk selalu berbuah jeruk karena ada aturan atau hukum yang mengatur agar jeruk selalu berbuah jeruk. Para ahli menyatakan hukum itu ada dalam gen jeru. Hukum itu tidak kelihatan. Jadi, tidak empiris, tetapi akal menyatakan hukum itu ada dan bekerja. Jeruk selalu berbuah jeruk akrena ada hukum yang mengatur demikan. Inilah pengetahuan filsafat; ini bukan pengetahuan sains. Kebenaran pengetahuan filsafat hanya dapat dipertanggungjawabkan secara rasional. Bila rasional, benar, bila tidak, salah. Kebenarannya tidak pernah dapat dibuktikan secara empiris. Bila ia rasional dan empiris, maka ia berubah jadi pengetahuan sains.
Objek penelitiannya adalah objek-objek yang abstrak, karena objeknya abstrak, maka temuannya juga abstrak. paradigmanya ialah paradigma rasional (rational paradigm), metodenya metode rasional (Kerlinger menyebutnya method of reason).
Sampai disini kita sudah mengenal dua macam pengetahuan, yaitu pertama pengetahuan sains yang rasional empiris, dan kedua pengetahuan filsafat yang hanya rasional. (Perlu segera saya ingatkan bahwa adakalanya pengetahuan filsafat itu berada pada level suprasional).
Kita kembali ke jeruk. Jeruk ditanam buahnya. Jeruk ini pengetahuan sains. Jeruk selalu berbuah jeruk karena ada hukum yang mengatur demikian. Ini pengetahuan filsafat. Masih ada orang, amat kecil jumlahnya, ingin tahu lebih jauh lagi. Mereka bertanya “siapa yang membuat hukum itu?” pertanyaan ini sulit dijawab. Tetapi masih dapat dijawab oleh filsafat. Salah satu teori dalam filsafat menyatakan bahwa hukum itu dibuat oleh ala itu sendiri secara kebutuhan. Teori ini lemah tadi sudah dikatakan. Teori lain mengatakan hukum itu dibuat oleh yang maha pintar. Ini logis (dalam art supra rasional). Jadi teori kedua ini benar secara filsafat. Ini masih pengetahuan filsafat. Yang maha pintar itu sering kali disebut tuhan. Ini masih pengetahuan filsafat.
Masih ada orang, yang jumlahnya segelintir saja ingin tahu lebih jauh lagi. Mereka bertanya “siapa tuhan itu, saya ingin mengenalnya, saya ingin melihatnya, saya ingin belajar langsung kepadanya!. Tuntunan orng-orang “nekad” ini tidak dapat dilayani oleh pengetahuan sains dan tidak juga oleh pengetahuan filsafat. Objek yang hendak mereka ketahui bukanlah objek empiris dan tidak juga dapat dijangkau akal rasional. Objek itu abstrak – supra - rasional atau meta-rasional. Kalau begitu bagaimana mengetahuinya!

Apa sih pengetahuan itu ?



Orang-orang yang mempelajari bahasa Arab mengalami sedikit kebingungan tatkala menghadapi kata “ilmu”. Dalam bahasa Arab kata al-‘ilm berarti pengetahuan (konwledge), sedangkan kata “ilmu” dalam bahasa Indonesia biasanya merupakan terjemahan science. Ilmu dalam arti science itu hanya sebagian dari al-‘ilm dalam bahasa Arab. Karena itu kata science seharusnya diterjemahkan sains saja, maksudnya agar orang yang mengerti bahasa Arab tidak bingung membedakan kata ilmu (sains) dengan kata al-‘lm yang berarti knowledge.

Apa sih pengetahuan itu ? pengetahuan ialah semua yang diketahui. Menurut Al-Qur’an, tatkala manusia dalam perut ibunya, ia tidak tahu apa-apa. Tatkala ia lahir pun barangkali ia belum juga tahu apa-apa. Kalaupun bayi yang baru lahir itu menangis, barangkali karena kaget saja, mungkin matanya merasakan silau atau badannya merasa dingin. Dalam rahim tidak silau dan tidak dingin, lantas ia menangis.

Tatkala bayi itu menjadi orang dewasa, katanlah ketika ia telah berumur 40 tahunan, pengetahuannya sudah banyak sekali. Begitu banyaknya, sampai-sampai ia tidak tahu lagi berapa banyak pengetahuannya dan tidak tahu lagi apa saja yang diketahuinya, bahkan kadang-kadang ia juga tidak tahu sebenarnya prngrtahuan itu.

Semakin bertambahnya umur manusiaitu semakin banyak pengetahuannya. Dilihat dari segi motif, pengetahuan itu diperoleh melalui dua cara. Pertama, pengetahuan yang diperoleh begitu saja, tanpa niat, tanpa motif, tanpa keingintahuan dan tanpa usaha. Tanpa ingin tahu lantas ia tahu-tahu, tahu. Seorang sedang berjalan tiba-tiba tertabrak becak. Tanpa rasa ingin tahu ia tahu-tahu, tahu bahwa ditabrak becak, sakit. Kedua, pengetahuan yang didasari motif ingin tahu. Pengetahuan diperoleh karena diusahakan, biasanya karena belajar. 

Dari mana rasa ingin tahu itu? Saya tidak tahu, itu dari mana. Barangkali rasa ingin tahu yang ada pada manusia itu sudah built-in dalam penciptaan manusia. Jadi, rasa ingin tahu itu adalah takdir.

Manusia ingin tahu, lantas ia mencari. Hasilnya ia tahu sesuatu. Nah, sesuatu itulah pengetahuan. Yang diperoleh tanpa usaha tadi bagaimana? Ya, pengetahuan juga. Pokoknya, pengetahuan ialah semua yang diketahui, titik.

Seseorang ingin tahu, jika jeruk ditanam, buahnya apa. Ia menanam bibit jeruk. Ia tunggu beberapa tahun dan ternyata buahnya jeruk. Tahulah ia bahwa jeruk berbuah jeruk. Pengetahuan jenis inilah yang disebut pengetahuan sains (scientific knowledge).
Sebenarnya pengetahuan sains tidak sesederhana itu. Pengetahuan sains harus berdasarkan logika (dalam arti rasional). Pengetahuan sains ialah pengetahuan rasional dan didukung bukti empiris. Namun, gejala yang paling menonjol dalam pengetahuan sains ialah adanya bukti empiris.
Dalam bentuknya yang sudah baku, pengetahuan itu mempunyai paradigma dan metode tertentu. Paradigmanya disebut paradigma sains (scientific paradigm) dan metodenya disebut metode ilmiah (metode sains, sciemtific method). Formula utama dalam pengetahuan sains ialah buktikan bahwa itu rasional dan tunjukkan bukti empirisnya.
Formula itu perlu sekali diperhatikan karena adakalanya kita menyaksikan bukti empirisnya ada, tetapi tidak rasional. Yang seperti ini bukanlah pengetahuan atau ilmu. Misalnya begini. Bila ada gerhana pukullah kentongan, gerhana itu akan hilang. Pernyataan itu memang dapat dibuktikan secara empiris. Coba saja, coba saja bila ada gerhana, pukul saja kentongan, toh lama-kelamaan gerhana akan hilang. Terbukti kan ? bukti empirisnya ada. Tetapi bukan pengetahuan ilmiah (pengetahuan sais, pengetahuan ilmu) sebab tidak ada bukti rasional yang dapat menghubungkan berhenti atau hilangnya gerhana dengan kentongan yang dipukul. Pengetahuan seperti itu bukan pengetahuan sains, mungkin dapat kita sebut dengan pengetahuan khayalan.

Aksiologi



Aksiologi merupakan kajian filsafat mengenai nilai. Nilai sendiri adalah suatu kualitas yang kita berikan kepada sesuatu objek sehingga sesuatu itu dianggap bernilai atau tidak bernilai. Pad amasa kini objeknya lebih banyak berupa sains dan teknologi. Peradaban manusia masa kini sangat bergantung pada ilmu pengetahuan (sains) dan teknologi. Berkat kemajuan pada kedua bidang ini pemenuhan kebuthan manusia dapat dilakukan dnegan cepat dan mudah. Banyak sekali penemuan-[enemuan baru yang amat membantu kehidupan manusia, sperti misalnya penemuan dalam bidang kedokteran dan kesehatan.

Namun di pihak lain, perkembangan-perkembangan tersebut mengesampingkan faktor manusia. Dimana bukan lagi teknologi yang berkembang seiring dengan perkembangan kebutuhan manusia, namun sering kali kini yang terjadi adalah sebaliknya. Manusialahn yang akhirnya harus menyesuaikan diri dengan teknologi. Teknologi tidak lagi berfungsi sebagai sarana yang memberikan kemudahan bagi manusia, melainkan dia ada bertujuan untuk eksistensinya sendiri. Dewasa ini ilmu bahkan sudah berada diambang kemajuan yang mempengaruhi reproduksi dan penciptaan manusi itu sendiri.

Aksiologi diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang ada. Masalah nilai moral tidak bisa terlepas dari tekad manusia untuk menemukan kebenaran. Sebab untuk menemukan kebenaran dan kemudia terutama untuk mempertahamkannya diperlukan moral.

Dihadapkan dengan masalah moral dalam pengembangan ekses ilmu dan teknologi yang bersifat merusak ini, para ilmuwan terbagi menjadi dua golongan pendapat.
Golongan pertama menginginkan bahwa ilmu harus bersikap netral terhadap nilai-nilai, baik secara ontologis, maupun aksiologis. Dalam hal ini tugas ilmuwan adalah menamukan pengetahuan dan terserah kepada orang lain dalam mempergunakannya, apakah untuk kebaikan atau untuk keburukan.

Golongan kedua sebaliknya berpendapat bahwa netralitas ilmu terhadap nilai-nilai hanyalah terbatas pada metafisika keilmuan. Sedangkan dalam penggunaannya bahkan pemilihan obyek penelitian, kegiatan keilmuan harus berlandaskan asas-asas moral.
Nilai yang menjadi kajian aksiologi ada dua, itu sebabnya aksiologi dibagi menjadi dua sub cabang yaitu :

1.   Etika. Kajian filsafat mengenai baik dan buruk, lebih kepada bagaimana seharusnya manusia bersikap dan bertingkah laku. Etika seringkali dinamakan filsafat moral karena cabang filsafat ini membahas baik dan buruk tingkah laku manusia, jadi dalam filsafat ini manusia dipandang dari segi perilakunya. Dapat pula dikatakan bahawa etika merupakan ilmua tentang kesusilaan yang menentukan bagaimana patutnya manusia hidup dalam masyarakat. Jadi dalam filsafat ini manusia juga dipandang dari segi perannnya sebagai anggota masyarakat. Pada hakikatnya, nilai tindakan manusia terikat pada temoat dan waktu, disamping itu baik dan buruknya perilaku manusia ditentukan oleh sudut pandang masyarakat. Sebagai contoh, perilaku yang dianggap wajar dalam suatu masyarakat di daerah tertentu dapat dianggap kurang oleh kalangan masyarakat di daerah lain.

2.  Estetika. Nilai yang berhubungan dengan keindahan (indah dan buruk). Mengkaji mengenai keindahan, kesenian, kesenangan yang disebabkan oleh keindahan.
Seni dan keindahan merupakan persoalan yang ditelaah oleh cabang filsafat estetika ini. Adapun yang ditelaah atau dibahas mengenai keindahan ialah kaidah maupun sifat hakiki dan keindahan; cara menguji ke indahan dengan perasaan dan pikiran manusia; penilaian dan apresiasi terhadap keindahan. Meskipun pada dasarnya estetika sudah di telaah sejak 2500 tahun yang lalu di berbagai daerah seperti Babilonia, Mesir, India, Cina dan Yunani, istilah estetika sendiri baru di kemukakan oleh Baungarten seorang filsuf jerman pada tahun 1750.

Plato mengemukakan pendapatnya bahwa seni adalah keterampilan memproduksi sesuatu. Jadi apa yang disebut hasil seni adalah suatu tiruan. Dikemukakan sebagai contoh bahwa lukisan tentang suatu pemandangan alam sesungguhnya adalah tiruan dari pemandangan alam yang pernah dilihat oleh pelukisnya. Aristoteles sependapat dengan Plato tetapi ia mengangggap bahwa seni itu penting karena seni berpengaruh besar bagi kehidupan manusia sedangkan Plato berpendapat bahwa seni itu tidak penting meskipun karya-karya yang berupa tulisan hingga sekarang dinyatakan orang sebagai karya seni sastra yang terkenal. Sebagai cabang filsafat, estetika mengalami perkembangan dari jaman Yunani kuno, jaman Romawi, abad pertengahan hingga abad ke 20. Bisa dikatakan bahwa setiap periode sejarah dan masyarakat menampilkan pemikiran tentang estetikanya sendiri. Ahli estetika islam yang terkenal ialah Abu Nasr al Farabi yang membahas terutama mengenai estetika di bidang musik, karena selain filsuf dan ahli ilmu kealaman dia juga seorang ahli musik.

Epistemologi dan Logika



Istilah epistemologi berasal dari dua buah kata dalam bahasa Yunani, yaitu episteme yang berarti pengetahuan, dan logos yang berarti kata, pikiran, dan ilmu. Jadi epistemologi adalah cabang filsafat yang membahas pengetahuan. 

Menurut Koenstenbaum (1968), secara umum epistemology berusaha untuk mencari jawaban atas pertanyaan “apakah pengetahuan?”. Tetapi secara spesifik espitemology berusaha menguji masalah-masalah yang kompleks, seperti hubungan antara pengetahuan dan kepercayaan pribadi, status pengetahuan yang melampaui panca indera, status ontology dari teori-teori ilmiah, hubungan antara konsep-konsep atau kata-kata tersebut, dan analisis atas tindakan mengetahui itu sendiri.

Menurut J.F. Ferrier, epistemology pada dasarnya berkenaan dengan pengujian filsafati terhadap batas-batas, sumber-sumber, struktur-struktur, metode-metode dan validitas pengetahuan.

Dalam hal ini, yang dibahas asal mula, bentuk atau struktur, validitas, dan metodologi, yang secara bersama-sama membentuk pengetahuan manusia, adapun permasalahan yang berkaitan dengan pokok bahasan tersebut berupa pertanyaan yang mendasar "apakah sumber dan dasar pengetahuan?"  "apakah pengetahuan itu adalah kebenaran yang pasti?". Sebagai contoh, kita mengetahui sesuatu, berarti kita memiliki pengetahuan tentang sesuatu itu. Kita adalah subjek, dan sesuatu itu adalah objek dari pengetahuan. Manusia tidak dapat mengetahui semua aspek dan objek karena keterbatasan kemampuannya. Socrates pernah berkata bahwa apa yang saya ketahui adalah bahwa saya tidak mengetahui apa-apa. Hal ini menegaskan bahwa ada pengetahuan yang pasti.

Logika sebagai salah satu cabang filsafat pada dasarnya adalah cara untuk menarik kesimpulan yang valid. Secara luas logika dapat didefinisikan sebagai pengkajian untuk berfikir secara sahih. Sebagai ilmu, logika berasal dari pandangan Aristoteles meski ia tidak menyebutnya logika tetapi filsafat analitika. Istilah logika digunakan pertama kali oleh Zeno dari Citium (334-262 SM) dari kata logikos dan kata ini berasal dari kata logos yang artinya akal atau pikiran, sedangjan logikos mempunya arti sesuatu yang diutarakan daengan akal. Ada banyak cara menarik kesimpulan. Namun secara garis besar, semua digolongkan menjadi dua cara yaitu logika induktif dan logika deduktif.

Logika induktif erat hubungannya dengan penarikan kesimpulan dari kasus-kasus individual nyata menjadi kesimpulan yang bersifat umum. Sedangkan logika deduktif berhubungan dengan penarikan kesimpulan dari kasus-kasus yang umum menjadi kesimpulan yang bersifat khusus atau individual. Baik logika induktif maupun logika deduktif, dalam proses penalarannya mempergunakan premis-premis yang berupa pengetahuan yang dianggap benar. Ketepatan penarikan kesimpulan tergantung dari tiga hal, yakni kebenaran premis mayor, kebenaran premis minor dan keabsahan pengambilan keputusan. Sekiranya salah satu dari ketiga unsur tersebut tidak terpenuhi maka kesimpulan yang ditariknya akan salah.