Rabu, 30 November 2016

Cabang-cabang filsafat


Ada beberapa pendapat yang menyatakan bahwa filsafat itu adalah ibu atau induk dari segala ilmu. Plato pernah mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu yang berusaha untuk mencapai kebenaran yang murni. Seorang filsuf Perancis, Rene Descartes mengatakan bahwa filsafat adalah kumpulan sejarah pengetahuan yang bidang pembahasannya adalah tentang Tuhan, manusia, dan alam semesta. Jadi filsafat yang pada awalnya meliputi segenap ilmu kemudian berkembang menjadi makin rasional dan sistematis. Pengetahuan manusia juga makin luas sehingga lahirlah berbagai disiplin ilmu. Mengingat semakin luasnya bidang-bidang yang dibahas, para ahli membagi bidang studi filsafat dalam beberapa cabang atau beberapa bagian filsafat. 

Jika kita mengamati karya-karya besar filsuf, seperti aristoteles (384-322 SM) dan Immanuel Kant (1724-1804), ada tiga tema besar yang menjadi fokus kajian dalam karya-karya mereka, yakni kenyataan, nilai, dan pengetahuan. Ketiga tema besar tersebut masing-masing dikaji dalam tiga cabang besar filsafat. Kenyataan merupakan bidang kajian metafisika, nilai adalah bidang kajian aksiologi, dan pengetahuan merupakan bidang kajian epistimologi.

Namun ada juga yang membagi cabang filsafat berdasarkan karakteristik objeknya. Berdasarkan karakteristik objeknya filsafat dibagi dua, yaitu :

1.    Filsafat umum/murni
a.    Metafisika, objeknya adalah hakikat tentang segala sesuatu yang ada
b.   Epistimologi. Onjeknya adalah pengetahuan/kenyataan
c.   Logika. Merupakan studi penyusunan argumen-argumen dan penarikan kesimpulan yang valid. Namun ada juga yang memasukkan Logika ke dalam kajian epistimologi.
d.   Aksiologi. Objek kajiannya adalah hakikat menilai kenyataan

2.    Filsafat Khusus/Terapan, yang lebih mengkaji pada salah satu aspek kehidupan. Seperti misalnya filsafat hukum, filsafat pendidikan, filsafat bahasa, dan lain sebagainya.

Pembagian cabang-cabang filsafat di atas tidak kaku. Seorang filsuf yang mengklaim bahwa pemikiran filsafatnya berupa kajian ontologis sering kali pula membahas masalah-masalah eksistensi manusia, kebudayaan, kondisi masyarakat, bahkan etika. Ini misalnya tampak dari filsafat Heidegger. Dalam bukunya yang terkenal, Being and Time (1979), dia menulis bahwa filsafatnya dimaksudkan untuk mencari dan memahami “ada”. Akan tetapi dia mengakui bahwa “ada” hanya dapat ditemukan pada eksistensi manusia dalam kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu, dalam bukunya itu dia membahas mengenai keotentikan, kecemasan, dan pengalamn-pengalaman manusia dalam kehidupan sehari-hari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar