Senin, 10 Oktober 2016

Sirah Nabawiyah-2



Selagi kita hendak membicarakan masalah kekuasaan di kalangan Bangsa Arab sebelum Islam, berarti kita harus membuat miniatur sejarah pemerintahan, imarah (keemiratan), agama dan kepercayaan di kalangan Bangsa Arab, agar lebih mudah bagi kita untuk memahami kondisi yang tengah bergejolak saat kemunculan Islam. 

Para penguasa jazirah tatkala terbitnya matahari Islam, bisa dibagi menjadi dua kelompok:
Raja-raja yang mempunyai mahkota, tetapi pada hakikatnya mereka tidak memiliki independensi dan berdiri sendiri

Para pemimpin dan pemuka kabilah atau suku, yang memiliki kekuasaan dan hak-hak istimewa seperti kekuasaan para raja. Mayoritas di antara mereka memiliki independensi. Bahkan boleh jadi sebagian diantara mereka mempunyai subordinasi layaknya seorang raja yang mengenakan mahkota.
Raja-raja yang memiliki mahkota adalah raja-raja Yaman, raja-raja kawasan Syam, Ghassan dan Hirah. Sedangkan penguasa-penguasa lainnya di jazirah Arab tidak memiliki mahkota.

Raja-raja di Yaman 

Suku bangsa tertua yang dikenal di Yaman adalah kaum Saba'. Mereka bisa diketahui lewat penemuan fosil Aur, yang hidup dua puluh abad Sebelum Masehi (SM). Puncak peradaban dan pengaruh kekuasaan mereka dimulai pada tahun sebelas SM. 

Klasifikasi periodisasi kekuasaan mereka dapat diperkirakan sebagai berikut : 

Antara tahun 1300 SM hingga 620 SM ; pada periode ini dinasti mereka dikenal dengan dinasti al-Mu'iniah, sedangkan raja-raja mereka dijuluki sebagai "Mukrib Saba'", dengan ibukotanya Sharwah. Puing-puing peninggalan mereka dapat ditemui sekitar jarak 50 km ke arah barat laut dari negeri Ma'rib, dan dari jarak 142 km arah timur kota Shan'a' yang dikenal dengan sebutan Kharibah. 

Pada periode merekalah dimulainya pembangunan bendungan, yang dikenal dengan nama bendungan Ma'rib, yang memiliki peran tersendiri dalam sejarah Yaman. Ada yang mengatakan, wilayah kekuasaan kaum Saba' ini meliputi daerah-daerah jajahan didalam dan luar negeri Arab.

Antara tahun 620 SM hingga 115 SM ; Pada periode ini dinasti mereka dikenal dengan dinasti Saba', dan mereka menanggalkan julukan "Mukrib" alias hanya dikenal dengan raja-raja Saba' dengan menjadikan Ma'rib sebagai ibukota, sebagai ganti dari Sharwah. Puing-puing kota ini dapat ditemui sejauh 192 km dari arah timur Shan'a'.

Sejak tahun 115 SM hingga tahun 300 M ; Pada periode ini dinasti mereka dikenal dengan dinasti al-Himyariyyah I, sebab kabilah Himyar telah memisahkan diri dari kerajaan Saba', dan menjadikan kota Raidan sebagai ibukotanya, menggantikan Ma'rib. Kota Raidan dikenal kemudian dengan nama Zhaffar. Puing-puing peninggalannya dapat ditemukan di sebuah bukit yang memutar dekat Yarim. 

Pada periode ini mereka mulai melemah dan jatuh, serta mengalami kerugian besar dalam perdagangan yang mereka lakukan. Diantara penyebabnya adalah beberapa factor ; pertama, dikuasainya kawasan utara Hijaz. Kedua, berhasilnya Bangsa Romawi menguasai jalur perdagangan laut setelah sebelumnya mereka menancapkan kekuasaan mereka di Mesir, Syria dan bagian utara kawasan Hijaz. Ketiga, adanya persaingan antar masing-masing kabilah . Faktor-faktor inilah yang menyebabkan berpencarnya keluarga besar suku Qahthan dan hijrahnya mereka ke negeri-negei yang jauh.

Sejak tahun 300 M hingga masuknya Islam ke Yaman ; Pada periode ini dinasti mereka dikenal dengan dinasti al-Himyariyyah II dan kondisi yang mereka alami penuh dengan kerusuhan-kerusuhan dan kekacauan, beruntunnya peristiwa kudeta, serta timbulnya perang keluarga yang mengakibatkan mereka menjadi santapan kekuatan asing yang selalu mengintai hingga hal itu kemudian mengakhiri kemerdekaan yang mereka pernah renggut. Begitu juga, pada periode ini Bangsa Romawi berhasil memasuki kota 'Adn serta atas bantuan mereka, untuk pertama kalinya orang-orang Habasyah berhasil menduduki negeri Yaman, yaitu tahun 340 M. Hal itu dapat mereka lakukan berkat persaingan yang terjadi antara dua kabilah; Hamadan dan Himyar. Pendudukan mereka berlangsung hingga tahun 378 M. Kemudian negeri Yaman memperoleh kemerdekaannya akan tetapi kemudian bendungan Ma'rib jebol hingga mengakibatkan banjir besar seperti yang disebutkan oleh Al-Qur'an dengan istilah Sailul 'Arim pada tahun 450 atau 451 M. Itulah peristiwa besar yang berkesudahan dengan lenyapnya peradaban dan bercerai berainya suku bangsa mereka.

Pada tahun 523 M, Dzu Nawwas, seorang Yahudi memimpin pasukannya menyerang orang-orang Nasrani dari penduduk Najran, dan berusaha memaksa mereka meninggalkan agama nasrani. Karena mereka menolak, maka dia membuat parit-parit besar yang di dalamnya api yang menyala, lalu mereka dilemparkan ke dalam api tersebut hidup-hidup, sebagaimana yang diisyaratkan oleh AlQur'an dalam surat al-Buruj. Kejadian ini membakar dendam di hati orang-orang Nasrani dan mendorong mereka untuk memperluas daerah kekuasaan dan penaklukan terhadap negeri Arab dibawah kemando imperium Romawi. Mereka bekerja sama dengan orang-orang Habasyah yang sebelumnya telah mereka provokasi dan menyiapkan armada laut buat mereka sehingga bergabunglah sebanyak 70.000 personil tentara dari mereka. 

Mereka untuk kedua kalinya berhasil menduduki negeri Yaman dibawah komando Aryath pada tahun 525 M. Dia menjadi penguasa di sana atas penunjukan dari raja Habasyah hingga kemudian dia dibunuh oleh Abrahah bin ash-Shabbah al-Asyram, anak buahnya sendiri pada tahun 549 M, dan selanjutnya dia berhasil menggantikan Aryath setelah meminta restu raja Habasyah. Abrahah inilah yang mengerahkan pasukannya untuk menghancurkan Ka'bah. Dalam sejarah dia dan pasukannya dikenal dengan pasukan penunggang gajah (ashhabul fil). Sepulangnya dari sana menuju Shan'a', dia mati dan digantikan oleh kedua anaknya yang kedua-duanya ketika menjadi penguasa lebih otoriter dan sadis dari orangtuanya.

Setelah peristiwa "gajah" tersebut, penduduk Yaman meminta bantuan kepada orang-orang Persi untuk menghadang serangan pasukan Habasyah dan kerjasama ini berhasil sehingga mereka akhirnya dapat mengusir orang-orang Habasyah dari negeri Yaman. Mereka memperoleh kemerdekaan pada tahun 575 M, berkat jasa seorang panglima yang bernama Ma'di Yakrib bin Saif Dzi Yazin al-Himyari yang kemudian mereka angkat menjadi raja mereka. Meskipun begitu, Ma'di Yakrib masih mempertahankan sejumlah orang-orang Habasyah sebagai pengawal yang selalu menyertainya dalam perjalanannya. Hal itu justru menjadi bumerang baginya, maka pada suatu hari mereka berhasil membunuhnya. Dengan kematiannya berakhirlah dinasti raja dari keluarga besar Dzi Yazin. Setelah itu Kisra mengangkat penguasa dari Bangsa Persia sendiri di Shan'a', dan menjadikan Yaman sebagai salah satu wilayah konfederasi kekisraan Persia. Kemudian hal itu terus berlanjut hingga era kekisraan terakhir yang dipimpin oleh Badzan, yang memeluk Islam pada tahun 638 M. Dengan keislamannya ini berakhirlah kekuasaan kekisraan Persia atas negeri Yaman *. 

* Lihat rinciannya pada buku "al-Yaman 'abrat Tarikh" , hal. 77, 83, 124, 130, 157, 161, dst ; "Tarikh ardhil Quran", Juz I, dari hal. 133 hingga akhir buku ini; "Tarikhul 'Arab Qablal Islam", hal. 101-151 ; dalam menentukan tahun-tahun peristiwa tersebut terjadi perbedaaan yang amat signifikan antara referensi-referensi sejarah. Bahkan sebagian penulis mengomentari tentang rincian tersebut, dengan mengutip firman Allah : "AlQuran ini tidak lain hanyalah dongengan orang-orang dahulu".

Raja-raja di Hirah 

Untuk beberapa periode, negeri Iraq masih menjadi konfederasi kekisraan Persia hingga munculnya Cyrus Yang Agung (557-529 SM.) yang dapat mempersatukan kembali Bangsa Persia. Maka selama kekuasaannya, tak seorangpun yang dapat menandingi dan mengalahkannya, hingga muncul Alexander dari Macedonia pada tahun 326 SM, yang mampu mengalahkan "Dara I", raja mereka dan menceraiberaikan persatuan mereka. Akibatnya negeri mereka terkotak-kotak dan muncullah di masing-masing wilayah raja-raja baru, yang dikenal dengan raja-raja ath-Thawa'if . Mereka berkuasa atas wilayah-wilayah masing-masing hingga tahun 230 M. Pada era kekuasaan raja-raja ath-Thawa'if inilah orang-orang Qahthan berpindah dan kemudian menempati daerah pedalaman Iraq. Mereka kemudian berpapasan dengan orang-orang dari keturunan 'Adnan yang juga berhijrah dan membanjiri pemukiman baru tersebut dan memilih bermukim di wilayah teluk dari sungai Eufrat .

Bangsa Persia kembali menjadi suatu kekuatan untuk kedua kalinya pada era Ardasyir, pendiri dinasti Sasaniyah sejak tahun 226 M. Dialah yang berhasil mempersatukan Bangsa Persia dan memaksa Bangsa Arab yang bermukim disana untuk mengakui kekuasaannya. Dan ini merupakan sebab mengungsinya orang-orang Qudha'ah ke Syam dan tunduknya penduduk Hirah dan Anbar kepadanya. 

Pada era Ardasyir ini pula, Judzaimah al-Wadhdhah berkuasa atas Hirah dan seluruh penduduk pedalaman Iraq dan Jazirah Arab yang terdiri dari keturunan Rabi'ah dan Mudhar. Ardasyir merasa mustahil dapat menguasai Bangsa Arab secara langsung dan mencegah mereka untuk menyerang kekuasaannya kecuali dengan cara menjadikan salah seorang dari mereka (Bangsa Arab) yang memiliki kefanatikan dan loyalitas terhadapnya dalam membelanya sebagai kaki tangannya. Disamping itu, dia juga sewaktu-waktu bisa meminta bantuan mereka untuk mengalahkan raja-raja Romawi yang amat dia takuti. Dengan demikian dia dapat menandingi tentara bentukan yang terdiri dari Bangsa Arab juga, seperti apa yang dibentuk oleh raja-raja Romawi sehingga berbenturanlah antara Bangsa Arab Syam dan Iraq. Dia juga masih mempersiapkan satu batalyon dari pasukan Persia untuk disuplai dalam menghadapi para penguasa Arab pedalaman yang membangkang terhadap kekuasaanya. Juzaimah meninggal sekitar tahun 268 M. 

Sepeninggal Juzaimah, 'Amru bin 'Ady bin Nashr al-Lakhmi naik tahta dan menjadi penguasa atas Hirah dan Anbar pada tahun 268-288 M. Dia adalah raja dari dinasti Lakhmi Pertama pada era Kisra Sabur bin Ardasyir dan kekuasaan dinasti Lakhmi terus berlanjut atas kedua wilayah tersebut hingga naiknya Qubbaz bin Fairuz menjadi Kisra Persia pada tahun 448-531 M. Pada era kekuasaannya muncullah Mazdak, yang mempromosikan gaya hidup permisivisme. Tindakannya ini diikuti juga oleh Qubbaz dan kebanyakan rakyatnya. Qubadz kemudian mengirim utusan kepada raja Hirah, yaitu al-Mundzir bin Ma'us Sama' (512-554 M), dan mengajaknya untuk memilih faham ini dan menjadikannya sebagai jalan hidup . Namun al-Mundzir menolak ajakan itu dengan penuh kesatria, sehingga Qubbadz mencopotnya dan menggantikannya dengan al-Harits bin 'Amru bin Hajar al-Kindi yang merespons ajakan kepada Mazdakisme tersebut.

Qubbadz kemudian diganti oleh Kisra Anusyirwan (531-578 M) yang sangat membenci faham tersebut. Karenanya, dia kemudian membunuh Mazdak dan banyak para pengikutnya serta mengangkat kembali al-Munzir sebagai penguasa atas Hirah. Sementara itu dia terus memburu al-Harits bin 'Amr akan tetapi dia memilih bersembunyi ke pemukiman kabilah Kalb hingga meninggal di sana. 

Kekuasaan Anusyirwan terus berlanjut sepeninggal al-Munzir bin Ma'us Sama', hingga naiknya an-Nu'man bin al-Munzir. Dialah orang yang memancing kemarahan Kisra, yang bermula dari adanya suatu fitnah hasil rekayasa Zaid bin 'Adiy al-Ibady. Kisra akhirnya mengirim utusan kepada an-Nu'man untuk memburunya, maka secara sembunyi-sembunyi, an-Nu'man menemui Hani' bin Mas'ud, pemimpin suku Ali Syaiban seraya menitipkan keluarga dan harta bendanya. Setelah itu, dia menghadap Kisra yang langsung menjebloskannya ke dalam penjara hingga meninggal dunia. Sebagai penggantinya, Kisra mengangkat Iyas bin Qabishah Ath-Thaiy dan memerintahkannva untuk mengirimkan utusan kepada Hani' bin Mas'ud agar dia memintanya untuk menyerahkan titipan yang ada padanya namun Hani'menolaknya dengan penuh keberanian bahkan dia memaklumatkan perang melawan raja. 

Tak berapa lama tibalah para komandan batalyon berikut prajuritnya yang diutus oleh Kisra dalam rombongan yang membawa Iyas tersebut sehingga kemudian terjadilah antara kedua pasukan itu, suatu pertempuran yang amat dahsyat di dekat tempat yang bernama "Zi Qaar" dan pertempuran tersebut akhirnya dimenangkan oleh Banu Syaiban, yang masih satu suku dengan Hani' sementara hal ini bagi Persia merupakan kekalahan yang sangat memalukan. Kemenangan ini merupakan yang pertama kalinya bagi bangsa Arab terhadap kekuatan asing. Ada yang mengatakan bahwa hal itu terjadi tak berapa lama menjelang kelahiran Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sebab beliau lahir delapan bulan setelah bertahtanya Iyas bin Qabishah atas Hirah.

Sepeninggal Iyas, Kisra mengangkat seorang penguasa di Hirah dari bangsa Persia yang bernama Azazbah yang memerintah selama tujuh belas tahun (614-631 M). Pada tahun 632 M tampuk kekuasaan disana kembali dipegang oleh keluarga Lakhm. Diantaranya adalah al-Munzir bin an-Nu'man yang dijuluki dengan "al-Ma'rur". Umur kekuasaannya tidak lebih dari delapan bulan sebab kemudian berhasil dikuasai oleh pasukan Muslimin dibawah komando Panglima Khalid bin al-Walid.

Raja-raja di Syam 

Manakala Bangsa Arab banyak diwarnai perpindahan berbagai kabilah, maka suku-suku Qudha'ah justru beranjak menuju kawasan Syam dan menetap disana. Mereka terdiri dari Bani Salih bin Halwan yang diantara anak keturunannya adalah Banu Dhaj'am bin Salih dan lebih dikenal kemudian dengan adh-Dhaja'imah. Mereka berhasil dijadikan oleh Bangsa Romawi sebagai kaki tangan dalam menghadang perbuatan iseng Bangsa Arab daratan dan sebagai kekuatan penopang dalam menghadapi pasukan Persia. Banyak diantara mereka yang diangkat sebagai raja dan hal itu berlangsung selama bertahun-tahun. Raja dari kalangan mereka yang paling terkenal adalah Ziyad bin al-Habulah. 

Periode kekuasaan mereka diperkirakan berlangsung dari permulaan abad 2 M hingga berakhirnya yaitu setelah kedatangan keluarga besar suku Ghassan yang dapat mengalahkan adh-Dhaja'imah dan merebut semua kekuasaan mereka. Atas kemenangan suku Ghassan ini, mereka kemudian diangkat oleh Bangsa Romawi sebagai raja atas Bangsa Arab di Syam dengan pusat pemerintahan mereka di kota Hauran. Dalam hal ini, kekuasaan mereka sebagai kaki tangan Bangsa Romawi disana terus berlangsung hingga pecahnya perang "Yarmuk" pada tahun 13 H. Tercatat, bahwa raja terakhir mereka Jabalah bin al-Ayham telah memeluk Islam pada masa kekhalifahan Amirul Mukminin, Umar bin al-Khaththab radhiallahu 'anhu.

Emirat di Hijaz 

Isma'il 'alaihissalam menjadi pemimpin Mekkah dan menangani urusan Ka'bah sepanjang hidupnya. Beliau meninggal pada usia 137 tahun. Sepeninggal beliau, kedua putra beliau yaitu; Nabit kemudian Qaidar secara bergilir menggantikan posisinya. Ada riwayat yang mengatakan bahwa Qaidar lah yang lebih dahulu kemudian baru Nabit. Sepeninggal keduanya, urusan Makkah kemudian ditangani oleh kakek mereka Mudhadh bin 'Amru al-Jurhumi **.
** Ini bukan Mudhadh al-Jurhumi tertua yang dulu pernah disinggung dalam kisah Nabi Isma'il 'alaihissalam. 

Dengan demikian beralihlah kepemimpinan ke tangan suku Jurhum dan terus berlanjut dalam waktu yang lama. Kedua putra Nabi Ismail menempati kedudukan yang terhormat di hati mereka lantaran jasa ayahanda keduanya dalam membangun Baitullah, padahal mereka tidak memiliki fungsi apapun dalam pemerintahan. 

Hari-hari dan zaman pun berlalu sedangkan perihal anak cucu Nabi Isma'il masih redup tak tersentuh hingga gaung suku Jurhum pun akhirnya semakin melemah menjelang munculnya Bukhtunshar. Dipihak lain, peran politik suku 'Adnan mulai bersinar di Mekkah pada masa itu yang indikasinya adalah tampilnya 'Adnan sendiri sebagai pemimpin Bangsa Arab tatkala berlangsung serangan Bukhtunshar terhadap mereka di Zat 'irq, sementara tak seorangpun dari suku Jurhum yang berperan dalam peristiwa tersebut. 

Bani 'Adnan berpencar ke Yaman ketika terjadinya serangan kedua oleh Bukhtunshar pada tahun 587 M. Sedangkan Barkhiya, seorang karib Yarmayah, Nabi dari Bani Israil mengajak Ma'ad untuk pergi menuju Hiran, sebuah wilayah di Syam. Akan tetapi setelah tekanan Bukhtunshar mulai mengendor, Ma'ad kembali lagi ke Mekkah dan setibanya disana, dia tidak menemui lagi penduduk dari suku Jurhum kecuali Jarsyam bin Jalhamah, lalu dia mengawini anaknya, Mu'anah dan melahirkan seorang anak laki-laki bernama Nizar.

Di Mekkah, keadaan suku Jurhum semakin memburuk setelah itu, dan mereka mengalami kesulitan hidup. Hal ini menyebabkan mereka menganiaya para pendatang dan menghalalkan harta yang dimiliki oleh administrasi Ka'bah. Tindakan ini menimbulkan kemarahan orang-orang dari Bani 'Adnan sehingga membuat mereka mempertimbangkan kembali sikap terhadap mereka sebelumnya. Ketika Khuza'ah melintasi Marr azh-Zhahran dan melihat keberadaan rombongan orang-orang 'Adnan yang terdiri dari suku Jurhum, dia tak menyia-nyiakan kesempatan tersebut, maka atas bantuan keturunan Bani 'Adnan yang lain yaitu Bani Bakr bin 'Abdu Manaf bin Kinanah mereka lantas memerangi orang-orang Jurhum, akibatnya mereka diusir dari Mekkah. Dengan begitu, dia berhasil mengusai pemerintahan Mekkah pada pertengahan abad II M. 

Tatkala orang-orang Jurhum akan mengungsi keluar Mekkah, mereka menyumbat sumur Zamzam dan menghilangkan letaknya serta mengubur didalamnya beberapa benda. Ibnu Ishaq berkata : " 'Amru bin al-Harits bin Mudhadh al-Jurhumi keluar dengan membawa pintalan Ka'bah dan Hajar Aswad lalu mengubur keduanya di sumur Zamzam, kemudian dia dan orang-orang Jurhum yang ikut bersamanya berangkat menuju Yaman. Namun betapa mereka sangat tertekan dan sedih sekali karena harus meninggalkan kota Mekkah dan kekuasaan yang pernah mereka raih disana. Untuk mengenang hal itu, 'Amru merangkai sebuah sya'ir : 

Seakan tiada pelipur lara lagi, juga para pegadang antara Hujun dan Shafa di kota Mekkah
Sungguh, kamilah dulu penghuninya
Namun oleh perubahan malam dan dataran berdebu, kami dibinasakan 

Periode Ismail 'alaihissalam diprediksi berlangsung sekitar dua puluh abad sebelum Masehi. Dengan demikian masa keberadaan Jurhum di Mekkah berkisar sekitar dua puluh satu abad sedangkan masa kekuasaan mereka adalah selama dua puluh abad. Khuza'ah menangani sendiri urusan administrasi Mekkah tanpa menyertakan peran Bani Bakr, kecuali terhadap kabilah-kabilah Mudhar yang diberikan kepada mereka tiga spesifikasi :

Memberangkatkan orang-orang (yang berhaji) dari 'Arafah ke Muzdalifah, dan membolehkan mereka berangkat dari Mina pada hari Nafar (kepulangan dari melakukan haji tersebut) ; urusan ini ditangani oleh Bani al-Ghauts bin Murrah, dari keturunan Ilyas bin Mudhar. Mereka ini dijuluki dengan sebutan "Shûfah"; makna dari pembolehan tersebut adalah : bahwa orang-orang yang berhaji tersebut tidak melempar pada hari Nafar hingga salah seorang dari kaum "Shûfah" tersebut melakukannya terlebih dulu, kemudian bila semua telah selesai melaksanakan prosesi ritual tersebut dan mereka ingin melakukan nafar/pulang dari Mina, kaum "Shûfah" mengambil posisi disamping kedua sisi (jumrah) 'Aqabah, dan ketika itu, tidak boleh seorang pun lewat kecuali setelah mereka, kemudian bila mereka telah lewat barulah orang-orang diizinkan lewat. Tatkala kaum "Shûfah" sudah berkurang keturunannya/musnah, tradisi ini dilanjutkan oleh Bani Sa'd bin Zaid Munah dari suku Tamim.
Melakukan ifâdhah (bertolak) dari Juma', pada pagi hari Nahr (hari penyembelihan hewan qurban) menuju Mina ; urusan ini diserahkan kepada Bani 'Udwan.

Merekayasa bulan-bulan Haram (agar tidak terkena larangan berperang didalamnya-penj); urusan ini ditangani oleh Bani Tamim dari keturunan Bani Kinanah.

Periode kekuasaan Khuza'ah berlangsung selama tiga ratus tahun. Pada periode ini kaum 'Adnan menyebar di kawasan Najd, pinggiran 'Iraq dan Bahrain. Sedangkan keturunan Quraisy ; mereka hidup sebagai Hallul (suku yang suka turun gunung) dan Shirm (yang turun gunung guna mencari air bersama unta mereka) dan menyebar ke pinggiran kota Mekkah dan menempati rumah-rumah yang berpencar-pencar di tengah kaum mereka, Bani Kinanah. Namun begitu, mereka tidak memiliki wewenang apa pun baik dalam pengurusan kota Mekkah ataupun Ka'bah hingga kemunculan Qushai bin Kilab. 

Mengenai jatidiri Qushai ini, diceritakan bahwa bapaknya meninggal dunia saat dia masih dalam momongan ibunya, kemudian ibunya menikah lagi dengan seorang laki-laki dari Bani 'Uzrah yaitu Rabi'ah bin Haram, lalu ibunya dibawa ke negeri asalnya di pinggiran Kota Syam. Ketika Qushai beranjak dewasa, dia kembali ke kota Mekkah yang kala itu diperintah oleh Hulail bin Habasyah dari Khuza'ah lalu dia meminang putri Hulail, Hubba maka gayung pun bersambut dan keduanya kemudian dinikahkan. Ketika Hulail meninggal dunia, terjadi perang antara Khuza'ah dan Quraisy yang berakhir dengan kemenangan Qushai dan penguasaannya terhadap urusan kota Mekkah dan Ka'bah. 
 
Ada tiga versi riwayat, berkaitan dengan sebab terjadinya perang tersebut :

Bahwa ketika Qushai telah beranak pianak, harta melimpah, pangkatnya semakin tinggi dan bersamaan dengan itu Hulail telah tiada, dia menganggap dirinya lah yang paling berhak atas urusan Ka'bah dan kota Mekkah daripada Khuza'ah dan Bani Bakr sebab suku Quraisy adalah pemuka dan pewaris tunggal keluarga Nabi Ismail lantas dia membicarakan hal ini dengan beberapa pemuka Quraisy dan Bani Kinanah dalam upaya mengusir Khuza'ah dan Bani Bakr dari kota Mekkah. Idenya tersebut disambut baik oleh mereka.

Bahwa Hulail, sebagaimana pengakuan Khuza'ah, berwasiat kepada Qushai agar mengurusi Ka'bah dan Mekkah.
Bahwa Hulail menyerahkan urusan Ka'bah kepada putrinya, Hubba dan mengangkat Abu Ghibsyan al-Khuza'i sebagai wakilnya lantas kemudian dia yang mengurusi Ka'bah tersebut mewakili Hubba. Tatkala Hulail meninggal, Qushai berhasil menipunya dan membeli kewenangannya atas Ka'bah tersebut dengan segeriba arak, atau sejumlah onta yang berkisar antara tiga ekor hingga tiga puluh ekor. Khuza'ah tidak puas dengan transaksi jual beli tersebut dan berupaya menghalang-halangi Qushai atas penguasaannya terhadap urusan Ka'bah tersebut. Menyikapi hal itu, Qushai mengumpulkan sejumlah orang dari Quraisy dan Bani Kinanah untuk tujuan mengusir mereka dari kota Mekkah, maka mereka menyambut hal itu.

Apa pun alasannya, setelah Hulail meninggal dunia dan kaum Shûfah menjalani aktivitas mereka tersebut, maka Qushai tampil bersama orang-orang Quraisy dan Kinanah di dekat 'Aqabah sembari berseru: " Kami lebih berhak daripada kalian ! ". Karena pelecehan ini, mereka lantas memeranginya namun Qushai berhasil mengalahkan mereka dan merampas semua kekuasaan mereka. Khuza'ah dan Bani Bakr mengambil sikap tidak menyerang setelah itu, maka Qushailah akhirnya yang malah lebih dahulu mengambil inisiatif penyerangan dan sepakat untuk memerangi mereka. Maka bertemulah kedua kekuatan tersebut dan terjadilah peperangan yang amat dahsyat tetapi kedua musuhnya tersebut justru menjadi mangsa yang empuk baginya. Akibat tekanan ini, mereka mengajaknya untuk berdamai dan bertahkim kepada Ya'mur bin 'Auf, salah seorang dari Bani Bakr. Ya'mur memutuskan bahwa Qushai lah yang berhak atas Ka'bah dan urusan kota Mekkah daripada Khuza'ah. 

Begitu juga diputuskan, setiap tetes darah yang ditumpahkan oleh Qushai maka akan menjadi tanggung jawabnya sendiri sedangkan setiap nyawa yang melayang oleh tangan Khuza'ah dan Bani Bakr harus dibayar dengan tebusan, serta (diputuskan juga) bahwa Qushai harus dibebastugaskan dari pengelolaan atas Ka'bah. Maka dari sejak itu, Ya'mur dijuluki sebagai asy-Syaddakh (Sang Pemecah masalah). Kekuasaan Qushai atas penanganan Mekkah dan Ka'bah berlangsung pada pertengahan abad V Masehi yaitu tahun 440 M. Dengan demikian, jadilah Qushai sekaligus suku Quraisy memiliki kekuasaan penuh dan otoritas atas Mekkah serta pelaksana ritual keagamaan bagi Ka'bah yang selalu dikunjungi oleh orang-orang Arab dari seluruh Jazirah.

Di antara langkah yang diambil oleh Qushai adalah memindahkan kaumnya dari rumah-rumah mereka ke Mekkah dan memberikan mereka lahan yang dibagi menjadi empat bidang, lantas menempatkan setiap suku dari Quraisy ke lahan yang telah ditentukan bagi mereka serta menetapkan jabatan sebelumnya kepada mereka yang pernah memegangnya yaitu suku Nasa-ah, Ali Shafwan, 'Udwan dan Murrah bin 'Auf sebab dia melihat sudah selayaknya dia tidak merubahnya.

Qushai banyak meninggalkan peninggalan-penginggalan sejarah; diantaranya adalah didirikannya Darun Nadwah disamping utara Masjid Ka'bah (Masjidil Haram), dan menjadikan pintunya mengarah ke masjid. Darun Nadwah merupakan tempat berkumpulnya orang-orang Quraisy yang didalamnya dibahas hal-hal yang sangat strategis bagi mereka. Oleh karena itu, ia mendapatkan tempat tersendiri dihati mereka karena dapat mencetak kata sepakat diantara mereka dan menyelesaikan sengketa secara baik.

Diantara wewenang Qushai dalam mengelola pemerintahannya adalah sebagai berikut :
Mengepalai Darun Nadwah ; Dalam Darun Nadwah ini mereka berembuk tentang masalah-masalah yang sangat strategis disamping sebagai tempat mengawinkan anak-anak perempuan mereka.
Pemegang panji ; Panji perang tidak akan bisa dipegang oleh orang lain selainnya termasuk anak-anaknya dan harus berada di Darun Nadwah.

Qiyadah (wewenang memberikan izin perjalanan) ; Kafilah dagang atau lainnya tidak akan bisa keluar dari Mekkah kecuali dengan seizinnya atau anak-anaknya.

Hijabah yaitu wewenang atas Ka'bah ; pintu Ka'bah tidak boleh dibuka kecuali olehnya begitu juga dalam seluruh hal yang terkait dengan pelayanannya.

Siqayah (wewenang menangani masalah air bagi jemaah haji) ; mereka mengisi penuh galon-galon air yang disisipkan didekatnya buah kurma dan zabib (sejenis anggur kering). Dengan bagitu jemaah haji yang datang ke Mekkah bisa meminumnya.

Rifadah (wewenang menyediakan makanan); mereka menyediakan makanan khusus buat tamu-tamu mereka (jemaah haji). Qushai mewajibkan semacam kharaj/ pajak kepada kaum Quraisy yang dikeluarkan pada setiap musim haji dan hal tersebut kemudian dipergunakan untuk membeli persediaan makanan buat jemaah haji, khususnya bagi mereka yang tidak memiliki bekal yang cukup.

Semua hal tersebut adalah menjadi wewenang Qushai, sedangkan anaknya 'Abdu Manaf juga otomatis telah memiliki kharisma dan kepemimpinan di masa hidupnya, dan hal itu diikuti juga oleh adiknya 'Abdud Dar maka berkatalah Qushai kepadanya : " aku akan menghadapkanmu dengan kaum kita meskipun sebenarnya mereka telah menghormatimu".

Kemudian Qushai berwasiat kepadanya agar dia memperhatikan wewenangnya dalam mengemban mashlahat kaum Quraisy, lalu dia berikan kepadanya wewenang atas Darun Nadwah, hijabah, panji, siqayah dan rifadah. Qushai termasuk orang yang tidak pernah mengingkari dan mencabut kembali apa yang telah terlanjur diucapkan dan diberikannya dan begitulah semua urusannya semasa hidup dan setelah matinya yang diyakininya dan selalu konsisten terhadapnya.

Tatkala Qushai meninggal dunia, anak-anaknya dengan setia menjalankan wasiatnya dan tidak tampak perseteruan diantara mereka, akan tetapi ketika 'Abdu Manaf meninggal dunia, anak-anaknya bersaing keras dengan anak-anak paman mereka, 'Abdud Dar (saudara-saudara sepupu mereka) dalam memperebutkan wewenang tersebut. Akhirnya, suku Quraisy terpecah menjadi dua kelompok bahkan hampir saja terjadi perang saudara diantara mereka, untunglah hal itu mereka bawa ke meja perundingan. Hasilnya, wewenang atas siqayah dan rifadah diserahkan kepada anak-anak 'Abdu Manaf sedangkan Darun Nadwah, panji dan hijabah diserahkan kepada ana-anak 'Abdud Dar. Anak-anak 'Abdu Manaf kemudian memilih jalan undian untuk menentukan siapa diantara mereka yang memiliki kewenangan atas siqayah dan rifadah. Undian itu akhirnya jatuh ketangan Hasyim bin 'Abdu Manaf sehingga dialah yang berhak atas pengelolaan keduanya selama hidupnya.

Dan ketika dia meninggal dunia, wewenang tersebut dipegang oleh adiknya, al-Muththolib bin 'Abdu Manaf yang diteruskan kemudian oleh 'Abdul Muththolib bin Hasyim bin 'Abdu Manaf, kakek Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam . Kewenangan tersebut terus dilanjutkan oleh keturunannya hingga datangnya Islam dimana ketika itu kewenangannya berada ditangan al-'Abbas bin 'Abdul al-Muththolib. Dalam riwayat lain, dikatakan bahwa Qushai sendirilah yang membagi-bagikan wewenang atas urusan-urusan tersebut diantara anak-anaknya untuk kemudian setelah dia meninggal tinggal dijalankan oleh mereka.

Selain itu suku Quraisy juga mempunyai kewenangan yang lain yang mereka bagi-bagi diantara mereka, yaitu masing-masing boleh membentuk negara-negara kecil, bahkan bila boleh diungkapkan dengan ungkapan yang pas saat ini adalah semacam semi negara demokrasi. Instansi-instansi yang ada, begitu juga dengan bentuk pemerintahannya hampir menyerupai bentuk pemerintahan yang ada sekarang yaitu sistim parlemen dan majelis-majelisnya. Berikut penjelasannya : 

Al-Isar : penanganan bejana-bejana tempat darah ketika terjadi sumpah, dan urusan ini diserahkan kepada suku Jumah.
Tahjirul amwal (pembekuan harta) : yaitu diperuntukkan dalam tata cara penyerahan qurban/sesajian dan nazar-nazar kepada berhala-berhala mereka, begitu juga dalam memecahkan sengketa-sengketa dan perkerabatan, dan urusan ini diserahkan kepada Bani Sahm.
Syura : yang diserahkan kepada Bani Asad.
Al-Asynaq : peraturan dalam menangani kasus diyat (denda bagi tindak kriminal) dan gharamat (denda pelanggaran perdata), dan urusan ini diserahkan kepada Bani Tayyim.
Al-'iqab : pemegang panji kaum dan ini diserahkan kepada Bani Umayyah.
Al-Qabbah : peraturan kemiliteran dan menunggang kuda. Hal ini diserahkan kepada Bani Makhzum.
As-Sifarah (kedutaan) : Hal ini diserahkan kepada Bani 'Ady ***.

*** Lihat; "Tarikh ardhil Quran", II/104, 105, 106 . Riwayat yang masyhur adalah bahwa yang membawa panji adalah Bani 'Abdid Dar, sedang kepemimpinan berada ditangan Bani Umayyah.

Kekuasaan di seluruh negeri Arab

Di bagian muka telah kami singgung tentang kepindahan kabilah-kabilah Qahthan dan 'Adnan, begitu juga dengan kondisi negeri-negeri Arab yang terpecah-pecah diantara mereka sendiri; Kabilah-kabilah yang berdekatan dengan Hirah tunduk kepada raja Arab di Hirah, dan suku yang tinggal di pedalaman Syam tunduk terhadap raja Ghassan. Hanya saja ketundukan mereka ini sekedar nama (bersifat simbolis) bukan secara riil di lapangan. Sedangkan mereka yang berada di daerah-daerah pedalaman dalam jazirah Arab mendapatkan kebebasan mutlak.

Sebenarnya, setiap kabilah-kabilah tersebut memiliki para pemuka yang mereka angkat sebagai pemimpin kabilah, begitu juga kabilah ibarat pemerintah mini yang landasan berpijaknya adalah kesatuan ras dan kepentingan yang saling menguntungkan dalam menjaga secara bersama tanah air dan membendung serangan lawan.

Posisi para pemuka kabilah tersebut di tengah pengikutnya tak ubahnya seperti posisi para raja. Jadi, setiap kabilah selalu tunduk kepada pendapat pemimpinnya baik dalam kondisi damai ataupun perang dan tidak ada yang berani membantahnya. Kekuasaannya dalam memimpin dan memberikan pendapat bak seorang diktator yang kuat sehingga bila ada sebagian yang marah maka beribu-ribu pedang berkilatan lah yang bermain dan ketika itu tak seorang pun yang bertanya kenapa hal itu terjadi. Anehnya, karena persaingan dalam memperebutkan kepemimpinan terjadi diantara sesama keturunan satu paman sendiri kadang membuat mereka sedikit bermuka dua alias over acting dihadapan orang banyak. Hal itu tampak dalam prilaku-prilaku dalam berderma, menjamu tamu, menyumbang, berlemah lembut, menonjolkan keberanian dan menolong orang lain yang mereka lakukan semata-mata agar mendapatkan pujian dari orang, khususnya lagi para penyair yang merangkap penyambung lidah kabilah pada masa itu. Disamping itu, mereka lakukan juga, agar derajat mereka lebih tinggi dari para pesaingnya.

Para pemuka dan pemimpin kabilah memiliki hak istimewa sehingga mereka bisa mengambil bagian dari harta rampasan tersebut ; baik mendapat bagian mirba', shaffi, nasyithah atau fudhul . Dalam menyifati tindakan ini, seorang penyair bersenandung :

Bagimu bagian mirba', shaffi, nasyithah, dan fudhul
Dalam kekuasaanmu terhadap kami

Yang dimaksud dengan mirba' adalah seperempat harta rampasan. Ash-Shaffi adalah bagian yang diambil untuk dirinya sendiri. An-Nasyithah adalah sesuatu yang didapat oleh pasukan di jalan sebelum sampai tujuan. Sedangkan al-Fudhul adalah bagian sisa dari harta rampasan yang tidak dapat dibagikan kepada individu-individu para pejuang seperti keledai, kuda dan lain-lain.

Kondisi Politik

Setelah.kami jelaskan tentang para penguasa di negeri Arab, maka akan kami jelaskan sedikit gambaran tentang kondisi politik yang mereka alami. Tiga wilayah yang letaknya berdampingan dengan negeri asing, kondisinya sangat lemah dan tidak pernah berubah positif. Mereka dikelompokkan kepada golongan tuan-tuan atau para budak, para penguasa atau rakyat. Para tuan-tuan, terutama bila mereka orang asing, memiliki seluruh kambing sedangkan para budak, sebaliknya yaitu mereka semua wajib membayar upeti.

Dengan ungkapan lain yang lebih jelas, bahwa rakyat ibarat posisi sebuah sawah yang selalu mendatangkan hasil buat dipersembahkan kepada pemerintah yang memanfaatkannya sebagai sarana untuk bersenang-senang, melampiaskan hawa nafsu, keinginan-keinginan, kelaliman dan upaya memusuhi orang. Sementara rakyat itu sendiri tenggelam dalam kebutaan, hidup tidak menentu, dan saat kelaliman menimpa mereka, tak seorangpun diantara mereka yang mampu mengadu, bahkan mereka diam tak bergerak dalam menghadapi kelaliman dan beraneka macam siksaan . Hukum kala itu benar-benar bertangan besi, sedangkan hak-hak asasi hilang ternoda. Adapun kabilah-kabilah yang berdampingan dengan kawasan ini, mengambil posisi ragu dan oleng oleh hawa nafsu dan tujuan pribadi masing-masing ; terkadang mereka terdaftar sebagai penduduk Iraq tapi terkadang juga terdaftar sebagai penduduk Syam. Kondisi kabilah-kabilah dalam Jazirah Arab tersebut benar-benar berantakan dan tercerai berai, masing-masing lebih memilih untuk berselisih dalam masalah suku, ras dan agama. Seorang dari mereka berdesah :

Aku tak lain dari seorang pelacak jalan, jika ia tersesat
Maka tersesatlah aku, dan jika sampai ketujuan maka sampai pulalah aku

Mereka tidak lagi memiliki seorang raja yang dapat menyokong kemerdekaan mereka, atau seorang penengah tempat dimana mereka merujuk dan mengadu dikala ditimpa kesusahan.

Sedangkan pemerintahan Hijaz sebaliknya, mata seluruh orang-orang Arab tertuju kepadanya dan mendapatkan penghargaan dan penghormatan dari mereka. Mereka menganggapnya sebagai pemimpin dan pelaksana keagamaan. Realitasnya, memang pemerintahan tersebut merupakan akumulasi antara kepemimpinan keduniawiaan, pemerintahan dalam arti yang sebenarnya dan kepemimpinan keagamaan. Ketika mengadili persengketaan yang terjadi antar orang-orang Arab, pemerintahan tersebut bertindak mewakili kepemimpinan keagamaan dan ketika mengelola urusan masjid Haram dan hal-hal yang berkaitan dengannya, maka ia lakukan sebagai pemerintah yang mengurusi kemashlahatan orang-orang yang berkunjung ke Baitullah/Ka'bah, begitu juga ia masih menjalankan syari'at Nabi Ibrahim. Pemerintahannya juga, sebagaimana kami singgung sebelumnya, memiliki instansi-instansi dan bentuk-bentuk yang menyerupai sistim parlemen, namun pemerintahan ini sangat lemah sehingga tak mampu memikul tanggungjawabnya sebagaimana saat mereka menyerang orang-orang Habasyah dulu.


Sirah Nabawiyah -1



Pada hakikatnya istilah Sirah Nabawiyah merupakan ungkapan tentang risalah yang dibawa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wasallam kepada manusia, untuk mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya, dari 'ibadah kepada hamba menuju 'ibadah kepada Allah. Dan tidak mungkin bisa menghadirkan gambarannya yang amat menawan secara pas dan mengena kecuali setelah melakukan perbandingan antara latar belakang risalah ini (risalah Nabawiyyah) dan pengaruhnya. Berangkat dari sinilah kami merasa perlu mengemukakan fasal yang berbicara tentang kaum-kaum 'Arab dan perkembangannya sebelum Islam, serta tentang kondisi-kondisi saat Nabi Muhammad diutus.

Posisi Bangsa Arab 

Menurut bahasa, 'Arab artinya padang pasir, tanah gundul dan gersang yang tiada air dan tanamannya. Sebutan dengan istilah ini sudah diberikan sejak dahulu kala kepada jazirah Arab, sebagaimana sebutan yang diberikan kepada suatu kaum yang disesuaikan dengan daerah tertentu, lalu mereka menjadikannya sebagai tempat tinggal. 

Jazirah Arab dibatasi Laut Merah dan gurun Sinai di sebelah barat, di sebelah timur dibatasi teluk Arab dan sebagian besar negara Iraq bagian selatan, di sebelah selatan dibatasi laut Arab yang bersambung dengan lautan India dan di sebelah utara dibatasi negeri Syam dan sebagian kecil dari negara Iraq, sekalipun mungkin ada sedikit perbedaan dalam penentuan batasan ini. Luasnya membentang antara satu juta mil kali satu juta tiga ratus ribu mil. 

Jazirah Arab memiliki peranan yang sangat besar karena letak geografisnya. Sedangkan dilihat dari kondisi internalnya, Jazirah Arab hanya dikelilingi gurun dan pasir di segala sudutnya. Karena kondisi seperti inilah yang membuat jazirah Arab seperti benteng pertahanan yang kokoh, yang tidak memperkenankan bangsa asing untuk menjajah, mencaplok dan menguasai Bangsa Arab. Oleh karena itu kita bisa melihat penduduk jazirah Arab yang hidup merdeka dan bebas dalam segala urusan semenjak zaman dahulu. Sekalipun begitu mereka tetap hidup berdampingan dengan dua imperium yang besar saat itu, yang serangannya tak mungkin bisa dihadang andaikan tidak ada benteng pertahanan yang kokoh seperti itu. 

Sedangkan hubungannya dengan dunia luar, Jazirah Arab terletak di benua yang sudah dikenal semenjak dahulu kala, yang mempertautkan daratan dan lautan. Sebelah barat Laut merupakan pintu masuk ke benua Afrika, sebelah timur laut merupakan kunci untuk masuk ke benua Eropa dan sebelah timur merupakan pintu masuk bagi bangsa-bangsa non-Arab, timur tengah dan timur dekat, terus membentang ke India dan Cina. Setiap benua mempertemukan lautnya dengan Jazirah Arab dan setiap kapal laut yang berlayar tentu akan bersandar di ujungnya.
Karena letak geografisnya seperti itu pula, sebelah utara dan selatan dari jazirah Arab menjadi tempat berlabuh berbagai bangsa untuk saling tukar-menukar perniagaan, peradaban, agama dan seni.

Kaum-kaum Arab 

Ditilik dari silsilah keturunan dan cikal-bakalnya, para sejarawan membagi kaum-kaum Arab menjadi tiga bagian, yaitu:
Arab Bâ-idah, yaitu kaum-kaum Arab terdahulu yang sudah punah dan tidak mungkin sejarahnya bisa dilacak secara rinci dan komplit, seperti 'Ad, Tsamud, Thasm, Judais, 'Imlaq dan lain-lainnya. 

Arab 'آAribah, yaitu kaum-kaum Arab yang berasal dari keturunan Ya'rib bin Yasyjub bin Qahthan, atau disebut pula Arab Qahthaniyah.
Arab Musta'ribah. yaitu kaum-kaum Arab yang berasal dari keturunan Isma'il, yang disebut pula Arab 'Adnaniyah. 

Tempat kelahiran Arab 'آAribah atau kaum Qahthan adalah negeri Yaman, lalu berkembang menjadi beberapa kabilah dan suku, yang terkenal adalah dua kabilah:
Kabilah Himyar, yang terdiri dari beberapa suku terkenal, yaitu Zaid Al-Jumhur, Qudhâ'ah dan Sakâsik. 

Kahlân, yang terdiri dari beberapa suku terkenal yaitu Hamadan, Anmar, Thayyi', Madzhaj, Kindah, Lakham, Judzam, Azd, Aus, Khazraj, anak keturunan Jafnah raja Syam dan lain-lainnya. Suku-suku Kahlân banyak yang hijrah meninggalkan Yaman, lalu menyebar ke berbagai penjuru Jazirah menjelang terjadinya banjir besar saat mereka mengalami kegagalan dalam perdagangan. Hal ini sebagai akibat dari tekanan Bangsa Romawi dan tindakan mereka menguasai jalur perdagangan laut dan setelah mereka menghancurkan jalur darat serta berhasil menguasai Mesir dan Syam, (dalam riwayat lain) dikatakan : bahwa mereka hijrah setelah terjadinya banjir besar tersebut. 

Juga tidak menutup kemungkinan jika hal itu sebagai akibat dari persaingan antara suku-suku Kahlan dan suku-suku Himyar, yang berakhir dengan keluarnya suku-suku Himyar dan pindahnya suku-suku Kahlân.

Suku-Suku Kahlân yang berhijrah bisa dibagi menjadi empat golongan : 

Azd ; Kehijrahan mereka langsung dipimpin oleh pemuka dan pemimpin mereka, 'Imran bin 'Amru Muzaiqiya'. Mereka berpindah-pindah di negeri Yaman dan mengirim para pemandu; lalu berjalan ke arah utara dan timur. Dan inilah rincian akhir tempat-tempat yang pernah mereka tinggali setelah perjalanan mereka tersebut : Tsa'labah bin Amru pindah dari al-Azd menuju Hijaz, lalu menetap diantara (tempat yang bernama) Tsa'labiyah dan Dzi Qar. Setelah anaknya besar dan kuat, dia pindah ke Madinah dan menetap disana. Dan diantara keturunan Tsa'labah ini adalah Aus dan Khazraj, yaitu dua orang anak dari Haritsah bin Tsa'labah. 

Diantara keturunan mereka yang bernama Haritsah bin 'Amr (atau yang dikenal dengan Khuza'ah) dan anak keturunannya berpindah ke Hijaz, hingga mereka singgah di Murr azh-Zhahran, yang selanjutnya membuka tanah suci dan mendiami Makkah serta mengekstradisi penduduk aslinya, al-Jarahimah. Sedangkan 'Imran bin 'Amr singgah di Omman lalu bertempat tinggal di sana bersama anak-anak keturunannya, yang disebut Azd Omman, sedangkan kabilah-kabilah Nashr bin aI-Azd menetap di Tuhâmah, yang disebut Uzd Syanû-ah. Jafnah bin 'Amr pergi ke Syam dan menetap di sana bersama anak keturunannya. Dia dijuluki Bapak para raja al-Ghassâsinah, yang dinisbatkan kepada mata air di Hijaz, yang dikenal dengan nama Ghassân yang telah mereka singgahi sebelum akhimya pindah ke Syam. 

Lakhm dan Judzam; mereka pindah ke bagian Timur dan Barat. Tokoh di kalangan mereka adalah Nashr bin Rabi'ah, pemimpin raja-raja Al-Manadzirah di Hirah.
Bani Thayyi' ; Mereka berpindah ke arah utara setelah perjalanan Azd hingga singgah di antara dua gunung; Aja dan Salma, dan akhirnya menetap di sana dan kedua gunung tersebut kemudian dekenal dengan dua gunungThayyi'. 

Kindah; Mereka singgah di Bahrain, kemudian terpaksa meninggalkannya dan singgah di Hadhramaut. Namun nasib mereka tidak jauh berbeda dengan apa yang menimpa mereka saat berada di Bahrain, hingga mereka pindah lagi ke Najd. Di sana mereka mendirikan pemerintahan yang besar dan kuat. Tapi pemerintahan itu cepat berakhir tanpa meninggalkan bekas sedikitpun. Di sana ada satu kabilah Himyar yaitu Qudha'ah (meskipun masih diperselisihkan penisbatannya kepada Himyar)yang meninggalkan Yaman dan bermukim di daerah pedalaman as-Samawah, pinggiran Iraq.* 

* Lihat rincian tentang kabilah-kabilah ini dan hijrahnya dalam buku-buku: "Nasab Ma'd wal Yaman al-Kabir", "Jamharatun Nasab", "al-'Iqdul Farid", "Qalaidul Jumman", "Nihayatul Arib", "Tarikh Ibni Khaldun", "Saba-ikuz Zahab" , dll. Dan terdapat perbedaan yang cukup mencolok dalam berbagai referensi sejarah dalam menetapkan periode hijrah-hijrah yang mereka lakukan dan sebab-sebabnya. Tapi setel·h mengamati secara cermat dari berbagai sudut pandang, maka kami telah menetapkan pendapat yang kami anggap kuat dalam bab ini berdasarkan dalil yang ada. 

Adapun Arab Musta'ribah, mereka merupakan cikal bakal dari nenek moyang mereka yang tertua Ibrahim 'Alaihis-Salam, yang berasal dari negeri Iraq, dari sebuah kota yang disebut Ar, dan terletak di pinggir barat sungai Eufrat, berdekatan dengan Kufah. Cukup banyak upaya penggalian dan pengeboran yang dilakukan untuk mengungkap rincian yang mendetail tentang kota ini dan keluarga Nabi Ibrahim 'Alaihis Salam serta kondisi religius dan sosial yang ada di negeri itu. 

Sudah diketahui bersama bahwa Ibrahim ' Alaihis Salam hijrah dari Iraq ke Hâran atau Hirran, termasuk pula ke Palestina, dan menjadikan negeri itu sebagai pijakan/markas dakwah beliau. Beliau banyak menyusuri pelosok negeri ini dan lainnya, dan beliau pernah sekali mengunjungi Mesir. Fir-'aun (sebutan bagi penguasa Mesir) kala itu berupaya untuk melakukan tipu daya dan niat buruk terhadap istri beliau, Sarah. Namun Allah membalas tipu dayanya (senjata makan tuan). Dan tersadarlah Fir'aun itu betapa kedekatan hubungan Sarah dengan Allah hingga akhirnya ia jadikan anaknya,** 

Hajar sebagai abdinya (Sarah). Hal itu dia lakukan sebagai tanda pengakuannya terhadap keutamaannya, kemudian dia (Hajar) dikawinkan oleh Sarah dengan Ibrahim. Ibrahim Alaihis Salam kembali ke Palestina dan Allah menganugerahinya Isma'il dari Hajar. Sarah terbakar api cemburu. Dia memaksa Ibrahim untuk mengekstradisi Hajar dan putranya yang masih kecil, Isma'il. Maka beliau membawa keduanya ke Hijaz dan menempatkan mereka berdua di suatu lembah yang tiada ditumbuhi tanaman (gersang dan tandus) di sisi Baitul Haram, yang saat itu hanyalah berupa gunduka~gundukan tanah. Rasa gundah mulai menggayuti pikiran Ibrahim, Beliau menoleh ke kiri dan kanan, lalu meletakkan mereka berdua di dalam tenda, diatas mata air zamzam, bagian atas masjid. Dan pada saat itu tak ada seorang pun yang tinggal di Makkah dan tidak ada mata air. Beliau meletakkan didekat mereka kantong kulit yang berisi kurma, dan wadah air. Setelah itu beliau kembali lagi ke Palestina. Berselang beberapa hari kemudian, bekal dan air pun habis. Sementara tidak ada mata air yang mengalir. Disana tiba-tiba mata air Zamzam memancar berkat karunia Allah, sehingga bisa menjadi sumber penghidupan bagi mereka berdua hingga batas waktu tertentu. Kisah mengenai hal ini sudah banyak diketahui secara lengkapnya. 

** Menurut kisah yang sudah banyak dikenal, Hajar adalah seorang budak wanita. Tetapi seorang penulis kenamaan, al-'Allamah al-Qadhy Muhammad Sulaiman Al-Manshurfury telah melakukan penelitian secara seksama bahwa Hajar adalah seorang wanita merdeka, dan dia adalah putri Fir'aun sendiri. Lihat buku "Rahmatun lil'alamin, 2/3637 dan juga buku "Tarikh Ibni Khaldun", 2/1/77. 

Suatu kabilah dari Yaman (Jurhum Kedua) datang setelah itu dan bermukim di Mekkah atas perkenan dari ibu Isma'il . Ada yang mengatakan, mereka sudah berada di sana sebelum itu, tepatnya di lembah-lembah di pinggir kota Makkah. Adapun riwayat Bukhari menegaskan bahwa mereka singgah di Mekkah setelah kedatangan Isma'il dan ibunya, sebelum Isma'il menginjak remaja. Mereka sudah biasa melewati lembah Makkah ini sebelum itu. 

Dari waktu ke waktu Ibrahim datang ke Makkah untuk menjenguk keluarganya. Dalam hal ini tidak diketahui berapa kali kunjungan/perjalanan yang dilakukannya, Hanya saja menurut beberapa referensi sejarah yang dapat dipercaya, kunjungan itu dilakukan sebanyak empat kali. Allah telah menyebutkan di dalam Al-Qur'an, bahwa Dia Ta'ala memperlihatkan Ibrahim dalam mimpinya seolah-olah dia menyembelih anaknya, Isma'il. Maka beliau langsung melaksanakan perintah ini. Allah berfirman :
"Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim menbaringkan onaknya atar pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya). Dan, kami panggillah dia, 'Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah mrmbenarkan mimpi itu, sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar ujian yang nyata. Dan, Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. " (Ash-Shaffat: 103-107).

Didalam Kitab Kejadian disebutkan bahwa umur Isma'il selisih tiga belas tahun lebih tua dari Ishaq. Secara tekstual, kisah ini menunjukkan bahwa peristiwa itu tejadi sebelum kelahiran Ishaq sebab kabar gembira tentang kelahiran Ishaq disampaikan setelah pengupasan kisah ini secara keseluruhan. 

Setidak-tidaknya kisah ini mengandung satu kisah perjalanan sebelum Isma'il menginjak remaja. Sedangkan tiga kisah selanjutnya telah diriwayatkan oleh Imam Bukhari secara panjang lebar dari Ibnu 'Abbas secara marfu', yang intinya bahwa ketika remaja Isma'il dan belajar bahasa Arab dari kabilah Jurhum, mereka merasa tertarik kepadanya, lalu mereka mengawinkannya dengan salah seorang wanita golongan mereka dan saat itu ibu Isma'il sudah meninggal dunia. Maka suatu saat Ibrahim hendak menjenguk keluarga yang ditinggalkannya setelah terjadinya pernikahan tersebut, beliau tidak mendapatkan Isma'il, lalu beliau bertanya kepada istrinya mengenai suaminya, Isma'il dan kondisi mereka berdua. Istri Isma'il mengeluhkan kehidupm mereka yang melarat. Maka Ibrahim menitip pesan agar suaminya nanti mengganti palang pintu rumahnya. Setelah diberitahu, Isma'il mengerti maksud pesan ayahnya. Maka Isma'il menceraikan istrinya itu dan kawin lagi dengan wanita lain, yaitu putri Madhdhadh bin 'Amr, pemimpin dan pemuka kabilah Jurhum menurut pendapat kebanyakan (sejarawan-pen). 

Setelah perkawinan Isma'il yang kedua ini, Ibrahim datang lagi, namun tidak bertemu dengan Isma'il lalu akhirnya kembali ke Palestina setelah beliau menanyakan kepada istrinya tersebit tentang Isma'il dan kondisi mereka berdua, isterinya memuij kepada Allah (atas apa yang dianugerahkan kepada mereka berdua). Kemudian Ibrahim kembali menitip pesan lewat istri Isma'il, agar Isma'il memperkokoh palang pintu rumahnya. Pada kedatangan yang ketiga kalinya Ibrahim bisa bertemu dengan Isma'il, yang saat itu sedang meraut anak panahnya di bawah sebuah pohon di dekat zamzam. Tatkala melihat kehadiran ayahnya, Isma'il berbuat sebagaimana layaknya seorang anak yang lama tidak bersua bapaknya, begitu juga dengan Ibrahim. Pertemuan ini terjadi setelah sekian lama yang sangat jarang dijumpai seorang ayah yang penuh rasa kasih sayang dan lemah lembut bisa menahan kesabaran untuk bersua anaknya, begitu pula dengan Isma'il, sebagai anak yang berbakti dan shalih. Dan kali ini mereka berdua membangun Ka'bah dan meninggikan pondasinya. Kemudian Ibrahim pun mengumumkan kepada khalayak agar melakukan haji sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah kepadanya. 

Dari perkawinannya dengan putri Madhdhadh, Isma'il dikaruniai oleh Allah sebanyak dua belas orang anak yang semuanya laki-laki, yaitu: Nabat atau Nabayuth, Qidar, Adba-il, Mubsyam, Misyma', Duma, Misya, Hidad, Yatma, Yathur, Nafis dan Qaidaman. Dari mereka inilah kemudian berkembang menjadi dua belas kabilah, yang semuanya menetap di Mekkah untuk beberapa lama. Mata pencaharian mayoritas mereka adalah berdagang dari negeri Yaman ke negeri Syam dan Mesir. Selanjutnya kabilah-kabilah ini menyebar di berbaga i penjuru Jazirah, dan bahkan hingga keluar Jazirah, kemudian seiring dengan pejalanan waktu, keadaan mereka tidak lagi terdeteksi, kecuali anak keturunan Nabat dan Qidar. 

Peradaban anak keturunan Nabat mengalami kemajuan di bagian utara Hijaz. Mereka mampu mendirikan pemerintahan yang kuat dan menguasai daerah-daerah di sekitarnya, dan menjadikan Al-Bathra' sebagai ibukotanya. Tak seorangpun yang mampu melawan mereka hingga datangnya pasukan Romawi yang berhasil melindas mereka. Sekelompok Peneliti berpendapat bahwa raja-raja keturunan keluarga besar Ghassan, termasuk juga kaum Anshor dari suku Aus dan Khazraj bukan berasal dari keturunan keluarga besar Qahthan, tetapi mereka adalah dari keturunan keluaraga besar Nabat, anak Isma'il dan sisa-sisa mereka masih berada di kawasan itu, dan pendapat ini diambil oleh Imam Bukhari sedangkan Imam Ibnu Hajar menguatkan pendapat yang mengatakan bahwa anak keturunan keluarga besar Qahthan adalah berasal dari keturunan keluarga besar Nabat. 

Adapun anak keturunan Qidar bin Isma'il masih menetap di Makkah, beranak pinak di sana hingga menurunkan 'Adnan dan anaknya Ma'ad. Dari dialah orang-orang Arab Adnaniyah menisbatkan nasab mereka. Dan Adnan adalah nenek moyang kedua puluh satu dalam silsilah keturunan Nabi Shallallahu 'alaihi Wasallam. Diriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi Wasallam, jika beliau menyebutkan nasabnya dan sampai kepada Adnan, maka beliau berhenti dan bersabda, "Para ahli silsilah nasab banyak yang berdusta", lalu beliau tidak melanjutkannya. Segolongan ulama memperbolehkan mengangkat nasab dari Adnan ke atas dan melemahkan (mendho'ifkan) hadits yang mengisyaratkan hal itu (hadits yang disebut diatas). Menurut mereka berdasarkan penelitian yang detail; sesungguhnya antara Adnan dan Ibrahim 'Alaihis-Salam terdapat empat puluh keturunan. 

Keturunan Ma'ad dari anaknya, Nizar telah berpencar kemana-mana (menurut suatu pendapat, Nizar adalah satu-satunya anak Ma'ad). Dan Nizar sendiri mempunyai empat orang anak, yang kemudian berkembang menjadi empat kabilah yang besar, yaitu: Iyad, Anmar, Rabi'ah dan Mudhar. Dua kabilah terakhir inilah yang paling banyak marga dan sukunya. Sedangkan dari Rabi'ah muncul Asad bin Rabi'ah, Anzah, Abdul-Qais, dua anak Wa-il ;Bakr dan Taghlib, Hanifah dan lain-lainnya. 

Sedangkan kabilah Mudhar berkembang menjadi dua suku yang besar, yaitu Qais 'Ailan bin Mudhar dan marga-marga Ilyas bin Mudhar. Dan dari Qais 'Ailan muncul Bani Sulaim, Bani Hawazin, Bani Ghathafan. Kemudian dari Ghathafan muncul 'Abs, Dzibyan, Asyja' dan Ghany bin A'shar. 

Dari Ilyas bin Mudhar muncul Tamim bin Murrah, Hudzail bin Mudrikah, Bani Asad bin Khuzaimah dan marga-marga Kinanah bin Khuzaimah. Dan dari Kinanah muncul Quraisy, yaitu anak keturunan Fihr bin Malik bin an-Nadhar bin Kinanah.
Quraisy terbagi menjadi beberapa kabilah, yang terkenal adalah Jumuh, Sahm, 'Udai, Makhzum, Tim, Zuhrah dan suku-suku Qushay bin Kilab, yaitu Abdud Dar bin Qushay, Asad bin Abdul 'Uzza bin Qushay dan Abdu Manaf bin Qushay. 

Sedangkan Abdu Manaf mempunyai empat anak: Abdu Syams, Naufal, al-Muththalib dan Hasyim. Hasyim adalah keluarga yang dipilih oleh Allah yang diantaanya muncul Muhammad bin Abdullah bin Abdul-Muththalib bin Hasyim. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam pernah bersabda:
"Sesungguhnya Allah telah memilih isma'il dari anak keturunan Ibrahim, memilih Kinanah dari anak keturunan Isma'il, memilih Quraisy dari anak keturunan Bani Kinanah, memilih Bani Hasyim dari keturunan Quraisy dan memilihku dari keturuan Bani Hasyim. ".(H.R. Muslim dan at-Turmudzy). 

Dari al-'Abbas bin Abdul Muththalib, dia berkata, "Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wasallam bersabda:
"Sesungguhnya Allah menciptakan makhluk, lalu Dia menjadikanku dan sebaik-baik golongan mereka dan sebaik-baik dua golongan, kemudian memilih beberapa kabilah, lalu menjadikanku diantara sebaik-baik kabilah, kemudian memilih beberapa keluarga Ialu menjadikanku diantara sebaik-baik keluarga mereka, maka aku adalah sebaik-baik jiwa diantara mereka dan sebaik-baik keluarga diantara mereka". (Diriwayatkan oleh at-Turmudzy). 

Setelah anak-anak 'Adnan beranak-pinak, mereka berpencar diberbagai tempat di penjuru jazirah Arab, menjelajahi tempat-tempat yang banyak curah hujannya dan ditumbuhi oleh tanaman. 

Abdul Qais dan keturunan Bakr bin Wa-il serta keturunan Tamim pindah ke Bahrain dan menetap di sana. Sedangkan Bani Hanifah bin Sha'b bin Ali bin Bakr bergerak menuju Yamamah dan singgah di Hijr, ibukota Yamamah. Semua keluarga Bakr bin Wa-il menetap di berbagai penjuru tanah Jazirah, mulai dari Yamamah, Bahrain, Saif Kazhimah hingga mencapai laut, kemudian tanah kosong Iraq, al-Ablah hingga Haita. 

Taghlib menetap di Jazirah dekat kawasan Eufrat, diantaranya terdapat suku-suku yang pernah hidup berdampingan dengan (kabilah) Bakr sedangkan Bani Tamim menetap di daerah pedalaman Bashrah. Bani Sulaim menetap dekat Madinah, dari Wadi al-Qura hingga ke Khaibar hingga bagian timur Madinah mencapai batas dua gunung hingga berakhir di kawasan pegungan Hurrah. Sementara Tsaqif menetap di Tha'if dan Hawazin di timur Makkah dipinggiran Authas yaitu dalam perjalanan antara Makkah dan Bashrah. Dan Bani Asad bermukim di timur Taima' dan barat Kufah. Mereka dan Taima' diantarai perkampungan Buhtur dari suku Thayyi'. Sedangkan masa perjalanan mereka dan Kufah ditempuh selama lima hari. Ada lagi suku Dzubyan yang bermukim di dekat Taima' menuju Huran. Di Tihamah tersisa beberapa suku-suku Kinanah, sedangkan di Makkah tinggal suku-suku Quraisy. Mereka berpencar-pencar dan tidak ada sesuatupun yang bisa menghimpun mereka, hingga muncul Qushay bin Kilab. Dialah yang menyatukan mereka dan membentuk satu kesatuan yang bisa mengangkat kedudukan dan martabat mereka.