Kamis, 08 Desember 2016

Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum



Agama dan ilmu dalam beberapa hal berbeda, namun dalam pada sisi tertentu memiliki kesamaan. Agama lebih mengedepankan moralitas dan menjaga tradisi yang sudah mapan (ritual), cenderung eksklusif, dan subjektif. Sementara ilmu selalu mencari yang baru, tidak terlalu terkait dengan etika, progresif, bersifat inklusif, dan objektif. Kendati agama dan ilmu berbeda, keduanya memiliki kesamaan, yakni bertujuan memberi ketenangan dan kemudahan bagi manusia.

Karakteristik agama dan ilmu tidak selalu harus dilihat dalam konteks yang berseberangan, tetapi juga perlu dipikirkan bagaimana keduanya bersinergi dalam membantu kehidupan manusia yang lebih layak. Contohnya, ilmu dan teknologi mampu mengantarkan manusia dalam tataran yang global, yang juga sering disebut dengan era informasi, tetapi kehidupan yang global itu pula yang menyelenggarakan sebagian besar penduduk di muka bumi ini.

        Sebagaimana ilmu dan teknologi, agama mendapat tantangan dari rasionalitas manusia yang telah membuktikan diri mampu mengubah penampilan dunia fisik. Perwujudan dari kearifan religious yang unspeakable dikalahkan oleh rasionalitas yang senantiasa melihat persoalan secara teknis sebatas alam fisik. Pada tingkat praktis, “agama kuno” memiliki apresiasi terhadap kehidupan yang lebih baik dan ini mengacu kepada jiwa yang lebih kesatria dan mulia.

        Sedangkan “agama modern” mewakili sikap egoistis manusia terhadap lingkungannya, jika bukan memamerkan cara mengesahkan keserakahan sekedar untuk tidak dianggap kuno.

Semangat yang berlebihan dalam beragama justru akan merugikan dan merusak makna agama itu sendiri. Di satu pihak penerapan rasionalitas dalam agama yang dilakukan oleh mereka yang ingin memodernisasikan agama agar sesuai dengan kemajuan jaman atau berpretensi untuk membersihkan agama dari berbagai bid’ah akan memiskinkan agama sekedar pelayan materialisme, karena rasionalitas hanya dapat bekerja pada wilayah logis yang  speakable dan bukan wilayah reflektif dari pengetahuan manusia di mana wilayah rasionalitas harus bekerja dua kali dan dengan demikian mengingkari dirinya. Di pihak lain, religiusitas tidak dapat direalisasikan secara paksa karena hanya akan memuaskan perasaan manusia belaka. 

Moh. Natsir Mahmud mengemukakan beberapa proposisi (usulan) tentang kemungkinan islamisasi ilmu pengetahuan, sebagai berikut :
1.        Dalam pandangan islam, alam semesta sebagai obyek ilmu pengetahuan tidak netral,     melainkan mengandung nilai (value) dan “maksud” yang luhur. Bila alam dikelola dengan “maksud” yang inheren dalam dirinya akan membawa manfaat bagi manusia. “Maksud” alam tersebut adalah suci (baik) sesuai dengan misi yang diemban dari Tuhan.
2.        Ilmu pengetahuan adalah produk alam pikiran manusia sebagai hasil pemahaman atas fenomena di sekitarnya. Sebagai produk pikiran, maka corak ilmu yang dihasilkan akan diwarnai pula oleh corak pikiran yang digunakan dalam mengkaji fenomena yang diteliti.
              3.        Dalam pandangan islam, proses pencarian ilmu tidak hanya berputar-putar disekitar rasio dan empirik, tetapi juga melibatkan al-qalb yakni intuisi batin yang suci. Rasio dan empirik mendeskripsikan fakta dan al-qalb memaknai fakta, sehingga analisis dan konklusi yang diberikan sarat makna-makna atau nilai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar