Agama
dan ilmu dalam beberapa hal berbeda, namun dalam pada sisi tertentu memiliki
kesamaan. Agama lebih mengedepankan moralitas dan menjaga tradisi yang sudah
mapan (ritual), cenderung eksklusif, dan subjektif. Sementara ilmu selalu
mencari yang baru, tidak terlalu terkait dengan etika, progresif, bersifat
inklusif, dan objektif. Kendati agama dan ilmu berbeda, keduanya memiliki
kesamaan, yakni bertujuan memberi ketenangan dan kemudahan bagi manusia.
Karakteristik
agama dan ilmu tidak selalu harus dilihat dalam konteks yang berseberangan,
tetapi juga perlu dipikirkan bagaimana keduanya bersinergi dalam membantu
kehidupan manusia yang lebih layak. Contohnya, ilmu dan teknologi mampu
mengantarkan manusia dalam tataran yang global, yang juga sering disebut dengan
era informasi, tetapi kehidupan yang global itu pula yang menyelenggarakan
sebagian besar penduduk di muka bumi ini.
Sebagaimana ilmu dan teknologi, agama
mendapat tantangan dari rasionalitas manusia yang telah membuktikan diri mampu
mengubah penampilan dunia fisik. Perwujudan dari kearifan religious yang unspeakable
dikalahkan oleh rasionalitas yang senantiasa melihat persoalan secara
teknis sebatas alam fisik. Pada tingkat praktis, “agama kuno” memiliki
apresiasi terhadap kehidupan yang lebih baik dan ini mengacu kepada jiwa yang
lebih kesatria dan mulia.
Sedangkan “agama modern” mewakili sikap
egoistis manusia terhadap lingkungannya, jika bukan memamerkan cara mengesahkan
keserakahan sekedar untuk tidak dianggap kuno.
Semangat
yang berlebihan dalam beragama justru akan merugikan dan merusak makna agama
itu sendiri. Di satu pihak penerapan rasionalitas dalam agama yang dilakukan
oleh mereka yang ingin memodernisasikan agama agar sesuai dengan kemajuan jaman
atau berpretensi untuk membersihkan agama dari berbagai bid’ah akan memiskinkan
agama sekedar pelayan materialisme, karena rasionalitas hanya dapat bekerja
pada wilayah logis yang speakable
dan bukan wilayah reflektif dari pengetahuan manusia di mana wilayah
rasionalitas harus bekerja dua kali dan dengan demikian mengingkari dirinya. Di
pihak lain, religiusitas tidak dapat direalisasikan secara paksa karena hanya
akan memuaskan perasaan manusia belaka.
Moh.
Natsir Mahmud mengemukakan beberapa proposisi (usulan) tentang kemungkinan
islamisasi ilmu pengetahuan, sebagai berikut :
1.
Dalam pandangan islam, alam semesta sebagai obyek ilmu
pengetahuan tidak netral, melainkan
mengandung nilai (value) dan “maksud” yang luhur. Bila alam dikelola dengan
“maksud” yang inheren dalam dirinya akan membawa manfaat bagi manusia. “Maksud”
alam tersebut adalah suci (baik) sesuai dengan misi yang diemban dari Tuhan.
2.
Ilmu pengetahuan adalah produk alam pikiran manusia sebagai
hasil pemahaman atas fenomena di sekitarnya. Sebagai produk pikiran, maka corak
ilmu yang dihasilkan akan diwarnai pula oleh corak pikiran yang digunakan dalam
mengkaji fenomena yang diteliti.
3.
Dalam pandangan islam, proses pencarian ilmu tidak hanya
berputar-putar disekitar rasio dan empirik, tetapi juga melibatkan al-qalb
yakni intuisi batin yang suci. Rasio dan empirik mendeskripsikan fakta dan
al-qalb memaknai fakta, sehingga analisis dan konklusi yang diberikan sarat
makna-makna atau nilai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar