Setelah kami jelaskan tentang para penguasa di negeri Arab pada postingan sebelumnya,
maka akan kami jelaskan sedikit gambaran tentang kondisi politik yang mereka
alami. Tiga wilayah yang letaknya berdampingan dengan negeri asing, kondisinya
sangat lemah dan tidak pernah berubah positif. Mereka dikelompokkan kepada
golongan tuan-tuan atau para budak, para penguasa atau rakyat. Para tuan-tuan,
terutama bila mereka orang asing, memiliki seluruh kambing sedangkan para
budak, sebaliknya yaitu mereka semua wajib membayar upeti.
Dengan ungkapan lain yang lebih jelas, bahwa rakyat ibarat
posisi sebuah sawah yang selalu mendatangkan hasil buat dipersembahkan kepada
pemerintah yang memanfaatkannya sebagai sarana untuk bersenang-senang,
melampiaskan hawa nafsu, keinginan-keinginan, kelaliman dan upaya memusuhi
orang. Sementara rakyat itu sendiri tenggelam dalam kebutaan, hidup tidak
menentu, dan saat kelaliman menimpa mereka, tak seorangpun diantara mereka yang
mampu mengadu, bahkan mereka diam tak bergerak dalam menghadapi kelaliman dan
beraneka macam siksaan . Hukum kala itu benar-benar bertangan besi, sedangkan
hak-hak asasi hilang ternoda. Adapun kabilah-kabilah yang berdampingan dengan
kawasan ini, mengambil posisi ragu dan oleng oleh hawa nafsu dan tujuan pribadi
masing-masing ; terkadang mereka terdaftar sebagai penduduk Iraq tapi terkadang
juga terdaftar sebagai penduduk Syam. Kondisi kabilah-kabilah dalam Jazirah
Arab tersebut benar-benar berantakan dan tercerai berai, masing-masing lebih
memilih untuk berselisih dalam masalah suku, ras dan agama. Seorang dari mereka
berdesah :
Aku tak lain dari seorang pelacak jalan, jika ia tersesat
Maka tersesatlah aku, dan jika sampai ketujuan maka sampai pulalah aku
Mereka tidak lagi memiliki seorang raja yang dapat
menyokong kemerdekaan mereka, atau seorang penengah tempat dimana mereka
merujuk dan mengadu dikala ditimpa kesusahan.
Sedangkan pemerintahan Hijaz sebaliknya, mata seluruh
orang-orang Arab tertuju kepadanya dan mendapatkan penghargaan dan penghormatan
dari mereka. Mereka menganggapnya sebagai pemimpin dan pelaksana keagamaan.
Realitasnya, memang pemerintahan tersebut merupakan akumulasi antara
kepemimpinan keduniawiaan, pemerintahan dalam arti yang sebenarnya dan
kepemimpinan keagamaan. Ketika mengadili persengketaan yang terjadi antar
orang-orang Arab, pemerintahan tersebut bertindak mewakili kepemimpinan
keagamaan dan ketika mengelola urusan masjid Haram dan hal-hal yang berkaitan
dengannya, maka ia lakukan sebagai pemerintah yang mengurusi kemashlahatan
orang-orang yang berkunjung ke Baitullah/Ka'bah, begitu juga ia masih
menjalankan syari'at Nabi Ibrahim. Pemerintahannya juga, sebagaimana kami
singgung sebelumnya, memiliki instansi-instansi dan bentuk-bentuk yang menyerupai
sistim parlemen, namun pemerintahan ini sangat lemah sehingga tak mampu memikul
tanggungjawabnya sebagaimana saat mereka menyerang orang-orang Habasyah dulu.
Mayoritas
Bangsa Arab masih mengikuti dakwah Nabi Ismail 'alaihissalam dan menganut agama
yang dibawanya. Beliau meneruskan dakwah ayahnya, Ibrahim 'alaihissalam, yaitu
menyembah Allah dan mentauhidkanNya. Untuk beberapa lama mereka akhirnya mulai
lupa banyak hal tentang apa yang pernah diajarkan kepada mereka. Sekalipun
begitu, tauhid dan beberapa syiar agama Ibrahim masih tersisa pada mereka,
hingga munculnya Amru bin Luhai, pemimpin Bani Khuza'ah. Dia tumbuh sebagai
orang yang dikenal suka berbuat kebajikan, bershadaqah dan respek terhadap
urusan-urusan agama, sehingga semua orang mencintainya dan hampir-hampir mereka
menganggapnya sebagai salah seorang ulama besar dan wali yang disegani.
Kemudian
dia mengadakan perjalanan ke Syam. Disana dia melihat penduduk Syam yang
menyembah berhala dan menganggap hal itu sebagai sesuatu yang baik serta benar.
Sebab menurutnya, Syam adalah tempat para rasul dan kitab. Maka dia pulang
sambil membawa Hubal dan meletakkannya di dalam ka'bah. Setelah itu dia
mengajak penduduk Mekkah untuk menjadikan sekutu bagi Allah. Orang-orang Hijaz
pun banyak yang mengiktui penduduk Mekkah karena mereka dianggap sebagai
pengawas Ka'bah dan penduduk tanah suci.
Berhala
yang paling dahulu mereka sembah adalah Manat, yang ditempatkan di Musyallal di
tepi laut Merah dekat Qudaid. Kemudian mereka membuat Lata di Thaif dan Uzza di
lembah kurma (wadi nakhlah). Ketiga berhala tersebut merupakan yang paling
besarnya. Setelah itu kemusyrikan semakin merebak dan berhala-berhala yang
lebih kecil bertebaran di setiap tempat di Hijaz. Dikisahkan bahwa Amru bin
Luhai mempunyai pembantu dari jenis jin. Jin ini memberitahukan kepadanya bahwa
berhala-berhala kaum Nuh (Wud, Suwa', Yaghuts, Ya'uq dan Nasr) terpendam di
Jeddah. Maka dia datang ke sana untuk mencari keberadaannya, lalu membawanya ke
Tihamah. Setelah tiba musim haji, dia menyerahkan berhala-berhala itu kepada
berbagai kabilah.
Mereka
membawa pulang berhala-berhala itu ke tempat mereka masing-masing. Sehingga di
setiap kabilah dan di setiap rumah hampir pasti ada berhalanya. Mereka juga
memajang berbagai macam berhala dan patung di al-Masjidil Haram . Tatkala
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam menaklukkan Mekkah, di sekitar Ka'bah
terdapat tiga ratus enam puluh berhala. Beliau menghancurkan berhala-berhala
itu hingga runtuh semua, lalu memerintahkan agar berhala-berhala tersebut dikeluarkan
dari masjid dan dibakar.
Begitulah
kisah kemusyrikan dan penyembahan terhadap berhala, yang menjadi fenomena
terbesar dari agama orang-orang Jahiliyyah, yang menganggap dirinya masih
menganut agama Ibrahim.
Mereka
juga mempunyai beberapa tradisi dan upacara penyembahan berhala, yang hampir
semuanya dibuat oleh Amru bin Luhai. Sementara orang-orang mengira apa yang
dibuat Amru tersebut adalah sesuatu yang baru dan baik serta tidak merubah
agama Ibrahim. Diantara upacara penyembahan berhala yang mereka lakukan adalah
:
Mereka
mengelilingi berhala dan mendatanginya, berkomat-kamit di hadapannya, meminta
pertolongan tatkala menghadapi kesulitan, berdoa untuk memenuhi kebutuhan,
dengan penuh keyakinan bahwa berhala-berhala itu bisa memberikan syafa'at di
sisi Allah dan mewujudkan apa yang mereka kehendaki.
Mereka
menunaikan haji dan thawaf di sekeliling berhala, merunduk dan sujud di
hadapannya.
Mereka
bertaqarrub kepada berhala mereka dengan berbagai bentuk taqarrub/ibadah;
mereka menyembelih dan berkorban untuknya dan dengan namanya.
Dua
jenis penyembelihan ini telah disebutkan Allah di dalam firmanNya :
"…Dan
apa yang disembelih untuk berhala…." (al-Maidah: 3)
"Dan
jagnanlah kalian memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika
menyembelihnya". (Al-An'am: 121).
Jenis
taqarrub yang lain, mereka mengkhususkan sebagian dari makanan dan minuman yang
mereka pilih untuk disajikan kepada berhala, dan juga mengkhususkan bagian
tertentu dari hasil panen dan binatang ternak mereka. Diantara hal yang amat
aneh adalah perbuatan mereka mengkhususkan bagian yang lain untuk Allah. Banyak
sebab-sebab yang mereka jadikan alasan kenapa mereka memindahkan sesembahan
yang sebenarnya mereka peruntukkan untuk Allah kepada berhala-berhala mereka,
akan tetapi mereka tidak memindahkan sama sekali sesembahan yang sudah
diperuntukkan untuk berhala mereka. Allah berfirman :
"Dan,
mereka memperuntukkan bagi Allah satu bagian dari tanaman yang diciptakan
Allah, lalu mereka berkata sesuai dengan persangkaan mereka, ' Ini untuk Allah
dan ini untuk berhala-berhala kami'. Maka saji-sajian yang diperuntukkan bagi
berhala-berhala mereka tidak sampai kepada Allah; dan saji-sajian yang
diperuntukkan bagi Allah, maka sajian itu sampai kepada berhala-berhala mereka.
Amat buruklah ketetapan mereka itu". (Al-An'am: 136).
Diantara
jenis taqarrub yang mereka lakukan ialah dengan bernazar menyajikan sebagian
hasil tanaman dan ternak untuk berhala-berhala. Allah berfirman :
"
Dan, mereka mengatakan,'inilah binatang ternak dan tanaman yang dilarang; tidak
boleh memakannya, kecuali orang yang kami kehendaki', menurut anggapan mereka,
dan binatang ternak yang mereka tidak menyebut nama Allah di waktu
menyembelihnya, semata-mata membuat-buat kedustaan terhadap Allah". (Al-An'am:
138).
Diantaranya
lagi adalah ritual al-bahirah, as-sa'ibah, al-washilah, al-hami . Ibnu Ishaq
berkata: "al-bahirah ialah anak as-sa'ibah yaitu onta betina yang telah
beranak sepuluh betina secara berturut-turut dan tidak diselingi sama sekali oleh
yang jantan. Onta semacam inilah yang dilakukan terhadapnya ritual sa'ibah; ia
tidak boleh ditunggangi, tidak boleh diambil bulunya, susunya tidak boleh
diminum kecuali oleh tamu. Jika kemudian melahirkan lagi anak betina, maka
telinganya harus dibelah. Setelah itu ia harus dilepaskan secara bebas bersama
induknya, dan juga harus mendapat perlakuan yang sama seperti induknya.
Al-Washilah adalah domba betina yang lahir dari lima perut; jika kemudian lahir
sepuluh betina secara berturut-turut dan tidak diantarai lahirnya yang jantan,
mereka mengadakan ritual washilah. Mereka berkata: "aku telah melakukan
washilah".
Kemudian
bila domba tersebut beranak lagi, maka mereka persembahkan kepada kaum
laki-laki saja kecuali ada yang mati maka dalam hal ini kaum laki-laki dan
wanita bersama-sama melahapnya. Sedangkan Al-hami adalah onta jantan yang sudah
membuahkan sepuluh anak betina secara berturut-turut tanpa ada jantannya.
Punggung onta seperti ini dijaga, tidak boleh ditunggangi, tidak boleh diambil
bulunya, harus dibiarkan lepas dan tidak digunakan kecuali untuk kepentingan
ritual tersebut. Berkenaan dengan hal tersebut, Allah menurunkan ayat :
"Allah
sekali-kali tidak pernah mensyari'atkan adanya bahirah, sa'ibah, washilah dan
hami. Akan tetapi orang-orang kafir membuat-buat kedustaan terhadap Allah, dan
kebanyakan mereka tidak mengerti". (al-Maidah: 103).
Allah
juga menurunkan ayat :
"
Dan, mereka mengatakan :'apa yang di dalam perut binatang ternak ini adalah
khusus untuk pria kami dan diharamkan atas wanita kami', dan jika yang dalam
perut itu dilahirkan mati, maka pria dan wantia sama-sama boleh
memakannya". (Al-An'am: 139).
Sa'id
bin al-Musayyab telah menegaskan bahwa binatang-binatang ternak diperuntukkan
bagi taghut-taghut mereka. Di dalam hadits yang shahih dan marfu', bahwa Amru
bin Luhai adalah orang pertama yang melakukan ritual saibah (mempersembahkan
onta untuk berhala).
Bangsa
Arab berbuat seperti itu terhadap berhala-berhalanya, dengan disertai keyakinan
bahwa hal itu bisa mendekatkan mereka kepada Allah, menghubungkan mereka
kepadaNya serta meminta syafa'at kepadaNya, sebagaimana yang dinyatakan dalam
Al-Qur'an :
"Kami
tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah
dengan sedekat-dekatnya". (Az-Zumar:3).
"Dan,
mereka menyembah selain daripada Allah apa yang tidak dapat mendatangkan
kemudharatan kepada mereka dan tidak (pula) manfaat, dan mereka berkata:
'mereka itu adalah pemberi syafa'at kepada kami disisi Allah". (Yunus:
18).
Orang-orang
Arab juga mengundi nasib dengan sesuatu yang disebut al-azlam atau anak panah
yang tidak ada bulunya. Anak panah itu ada tiga jenis: satu jenis ditulis
dengan kata "ya", satu lagi ditulis dengan kata "tidak" dan
jenis ketiga dengan kata "dibiarkan". Mereka mengundi nasib untuk
menentukan apa yang akan dilakukan, seperti bepergian, menikah atau
lain-lainnya, dengan menggunakan anak panah itu. Jika yang keluar tulisan
"ya", mereka melaksanakannya, dan jika yang keluar adalah tulisan
"tidak" , mereka menangguhkannya pada tahun itu hingga mereka
melakukannya lagi. Dan jika yang muncul adalah tulisan "dibiarkan"
mereka mengulangi undiannya.
Ada
lagi jenis lain, yaitu tulisan "air" dan "tebusan", begitu
juga tulisan "dari kalian", "bukan dari kalian" atau
"disusul". Bila mereka ragu terhadap nasab seseorang mereka
membawanya ke hubal dan membawa serta juga seratus hewan kurban lalu diserahkan
kepada pengundi. Dalam hal ini, jika yang keluar adalah tulisan "dari
kalian", maka dia diangkat sebagai penengah/pemutus perkara diantara
mereka. Jika yang keluar tulisan "bukan dari kalian" maka dia
diangkat sebagai sekutu. Sedangkan jika yang keluar adalah tulisan
"disusul" maka kedudukannya di tengah mereka adalah sebagai orang
yang tidak bernasab dan tidak diangkat sebagai sekutu.
Tak
beda jauh dengan hal ini adalah perjudian dan undian. Mereka membagi-bagikan
daging unta yang mereka sembelih berdasarkan undian tersebut.
Mereka
juga percaya kepada perkataan peramal, dukun (para normal) dan ahli nujum
(astrolog). Peramal adalah orang yang suka memberikan informasi tentang hal-hal
yang akan terjadi di masa depan, mengaku-aku dirinya mengetahui
rahasia-rahasia. Diantara para peramal ini, ada yang mendakwa dirinya memiliki
pengikut dari bangsa jin yang memberikan informasi kepadanya. Diantara mereka
juga ada yang mendakwa mengetahui hal-hal yang ghaib berdasarkan pemahaman yang
diberikan kepadanya. Ada lagi dari mereka yang mendakwa dirinya mengetahui
banyak hal dengan mengemukan premis-premis dan sebab-sebab yang dapat dijadikan
bahan untuk mengetahui posisinya berdasarkan kepada ucapan si penanya,
perbuatannya atau kondisinya; inilah yang disebut dengan 'arraf (dukun/para
normal) seperti orang yang mendakwa dirinya mengetahui barang yang dicuri,
letak terjadinya pencurian, juga orang yang tersesat, dan lain-lain.
Sedangkan
ahli nujum (astrolog) adalah orang yang mengamati keadaan bintang dan planet,
lalu dia menghitung perjalanan dan waktu peredarannya, agar dengan begitu dia
bisa mengetahui berbagai keadaan di dunia dan peristiwa-peristiwa yang bakal
terjadi di kemudian hari. Membenarkan ramalan ahli nujum/astrolog ini pada
hakikatnya merupakan bentuk kepercayaan terhadap bintang-bintang. Diantara
keyakinan mereka terhadap bintang-bintang adalah keyakinan terhadap anwa'
(simbol tertentu yang dibaca sesuai dengan posisi bintang) ; oleh karenanya
mereka selalu mengatakan ; 'hujan yang turun ke atas kami ini lantaran posisi
bintang begini dan begitu'.
Di
kalangan mereka juga beredar kepercayaan ath-Thiyarah yaitu merasa nasib sial
atau meramal nasib buruk (karena melihat burung, binatang lainnya atau apa
saja) . Pada mulanya mereka mendatangi seekor burung atau kijang, lalu
mengusirnya. Jika burung atau kijang itu mengambil arah kanan, maka mereka jadi
bepergian ke tempat yang hendak dituju dan hal itu dianggap sebagai pertanda
baik. Jika burung atau kijang itu mengambil arah kisri, maka mereka tidak
berani bepergian dan mereka meramal hal itu sebagai tanda kesialan. Mereka juga
meramal sial jika di tengah jalan bertemu burung atau hewan tertentu.
Tak
bebeda jauh dengan hal ini adalah kebiasaan mereka yang menggantungkan ruas
tulang kelinci (dengan kepercayaan bahwa hal itu dapat menolak bala'-penj).
Mereka juga menyandarkan kesialan kepada hari-hari, bulan-bulan, hewan-hewan,
rumah-rumah atau wanita-wanita. Begitu juga keyakinan terhadap penularan
penyakit dan binatang berbisa. Mereka percaya bahwa orang yang mati terbunuh,
jiwanya tidak tenteram jika dendamnya tidak dilampiaskan. Ruhnya bisa menjadi
binatang berbisa dan burung hantu yang beterbangan di padang sahara/tanah
lapang seraya berteriak: 'Haus! haus! beri aku minum! beri aku minum!', dan
bila telah dilampiaskan dendamnya maka ruhnya merasa tenang dan tentram
kembali.
Orang-orang
Jahiliyah masih dalam kondisi kehidupan demikian, tetapi ajaran Ibrahim masih
tersisa pada mereka dan belum ditinggalkan sama sekali, seperti pengagungan
terhadap baitullah (ka'bah), thawaf, haji, umrah, wukuf di 'Arafah dan
Muzdalifah, serta ritual mempersembahkan onta sembelihan untuk ka'bah. Memang,
dalam hal ini terjadi hal-hal yang mereka ada-adakan. Diantaranya; orang-orang
Quraisy berkata, 'kami anak keturunan Ibrahim dan penduduk tanah haram,
penguasa ka'bah dan penghuni Mekkah. Tak seorangpun dari Bangsa Arab yang
mempunyai hak dan kedudukan seperti kami- dalam hal ini, mereka menjuluki diri
mereka dengan alhums (kaum pemberani)- ; oleh karena itu tidak selayaknya kami
keluar dari tanah haram menuju tanah halal (di luar tanah haram). Mereka tidak
melaksanakan wuquf di Arafah, juga tidak ifadhah dari sana, tapi melaukan
ifadhah dari Muzdalifah. Mengenai hal ini,turun firman Allah:
"Kemudian
bertolaklah kalian dari tempat bertolaknya orang-orang banyak" .
(al-Baqarah: 199).
Diantara
hal-hal lain yang mereka katakana adalah : "tidak selayaknya alhums
mengkonsumsi keju, memasak dan menyaring samin/mentega saat mereka sedang
berihram, serta memasuki rumah-rumah dengan pakaian dari bulu/wol. Juga tidak
selayaknya berteduh ketika lagi berteduh kecuali di rumah-rumah yang terbuat
dari kulit selama mereka dalam keadaan berihram".
Mereka
juga berkata: "Penduduk di luar tanah haram tidak boleh memakan makanan
yang mereka bawa dari luar tanah haram ke tanah haram, jika kedatangan mereka
itu dimaksudkan untuk melakukan haji atau umrah".
Hal-Hal
lainya yang mereka buat-buat adalah mereka melarang orang yang datang dari luar
tanah haram bila mereka datang dan berthawaf untuk pertama kalinya kecuali
dengan mengenakan pakaian kebesaran alhums dan jika mereka tidak mendapatkannya
maka kaum laki-laki harus thawaf dalam keadaan telanjang. Sementara wanita juga
harus menanggalkan seluruh pakaiannya kecuali pakaian rumah yang
longgar,kemudian baru berthawaf dan melantunkan :
"Hari
ini tampak sebagian atau seluruhnya apa yang nampak itu tiadalah ia perkenankan"
Dan
berkaitan dengan itu, turun firman Allah :
"Hai
anak Adam! Pakailah pakaian yang indah di setiap (memasuki) masjid".
(al-A'raf: 31).
Jika
salah seorang dari laki-laki dan wanita merasa lebih hormat untuk thawaf dengan
pakaian yang dikenakannya dari luar tanah haram maka sehabis thawaf dia harus
membuangnya dan ketika itu tak seorangpun yang boleh menggunakannya lagi; baik
dari mereka maupun selain mereka.
Hal
lainya lagi adalah perlakuan mereka yang tidak mau masuk rumah dari pintu depan
bila sedang berihram, tetapi mereka melubangi bagian tengah rumah untuk tempat
masuk dan keluar, dan mereka manganggap pikiran sempit semacam ini sebagai
kebaktian (birr); maka hal semacam ini kemudian dilarang oleh Al-Qur'an dalam
firmanNya :
"Dan
bukanlah kebaktian itu memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi
kebaktian itu ialah kebaktian orang yang bertakwa". (al-Baqarah: 189).
Kepercayaan
semacam ini ; kepercayaan bernuansa syirik, penyembahan terhadap berhala,
keyakinan terhadap hipotesis-hipotesis lemah dan khurafat-khurafat adalah
merupakan kepercayaan/agama mayoritas Bangsa Arab. Disamping itu juga, ada
agama lain seperti; Yahudi, Nashrani, Majusi dan Shabi'ah. Agama-agama ini juga
mendapatkan jalan untuk memasuki pemukiman Bangsa Arab.
Ada
dua periode yang sempat mewakili keberadaan orang-orang Yahudi di jazirah Arab:
Proses
hijrah yang mereka lakukan pada periode penaklukan Bangsa Babilonia dan
Assyiria di Palestina; tekanan yang dialami oleh orang-orang Yahudi, luluh
lantaknya negeri dan hancurnya rumah ibadah mereka oleh Bukhtanashshar pada
tahun 587 SM serta ditawan dan dibawanya sebagian besar mereka ke Babilonia
menyebabkan sebagian mereka yang lain meninggalkan negeri Palestina menuju
Hijaz dan bermukim di sekitar belahan utaranya.
Diawali
dari sejak pendudukan yang dilakukan oleh Bangsa Romawi terhadap Palestina
dibawah komando Pettis pada tahun 70 M; adanya tekanan dari orang-orang Romawi
terhadap bangsa Palestina, hancur dan luluh lantaknya rumah ibadah mereka
membuahkan berimigrasinya banyak suku dari bangsa Yahudi ke Hijaz dan menetap
di Yatsrib (Madinah sekarang-penj), Khaibar dan Taima'.
Disana
mereka mendirikan perkampungan, istana-istana dan benteng-benteng. Agama Yahudi
tersebar di kalangan sebagian bangsa Arab melalui kaum imigran Yahudi tersebut.
Di kemudian harinya mereka memiliki peran yang sangat signifikan dalam
percaturan politik pada periode tersebut sebelum munculnya Islam. Ketika Islam
muncul, suku-suku Yahudi yang sudah ada dan masyhur adalah Khaibar, an-Nadhir,
al-Mushthaliq, Quraizhah dan Qainuqa'. Sejarawan, as-Samhudi menyebutkan dalam
bukunya "wafâul wafa' " halaman 116 bahwa suku-suku Yahudi yang
mampir di Yatsrib dan datang ke sana dari waktu ke waktu berjumlah lebih dari
dua puluh suku.
Sementara
itu, masuknya agama Yahudi di Yaman adalah melalui penjual jerami, As'ad bin
Abi Karb. Ketika itu, dia pergi berperang ke Yatsrib dan disanalah dia memeluk
agama Yahudi. Dia membawa serta dua orang ulama Yahudi dari suku Bani Quraizhah
ke Yaman. Agama Yahudi tumbuh dan berkembang dengan pesat di sana, terlebih
lagi ketika anaknya, Yusuf yang bergelar Dzu Nuwas menjadi penguasa di Yaman;
dia menyerang penganut agama Nashrani dari Najran dan mengajak mereka untuk
menganut agama Yahudi, namun mereka menolak. Karena penolakan ini, dia kemudian
menggali parit dan mencampakkan mereka ke dalamnya lalu mereka dibakar
hidup-hidup.
Dalam
tindakannya ini, dia tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan, anak-anak
kecil dan orang-orang berusia lanjut. Sejarah mencatat, bahwa jumlah korban
pembunuhan massal ini berkisar antara 20.000 hingga 40.000 jiwa. Peristiwa itu
terjadi pada bulan Oktober tahun 523 M. Al-Qur'an menceritakan sebagian dari
drama tragis tersebut dalam surat al-Buruj (tentang Ashhabul Ukhdud).
Sedangkan
agama Nasrani masuk ke jazirah Arab melalui pendudukan orang-orang Habasyah dan
Romawi. Pendudukan orang-orang Habasyah yang pertama kali di Yaman terjadi pada
tanun 340 M dan berlangsung hingga tahun 378 M. Pada masa itu, gerakan
kristenisasi mulai merambah pemukiman di Yaman. Tak berapa jauh dari masa ini,
seorang yang yang dikenal sebagai orang yang zuhud, doanya mustajab dan juga
dianggap mempunyai kekeramatan. Orang ini dikenal dengan sebutan Fimiyun;
dialah yang datang ke Najran. Dia mengajak penduduk Najran untuk memeluk agama
Masehi. Mereka melihat tanda-tanda kejujuran pada dirinya dan kebenaran
agamanya. Oleh karena itu mereka menerima dakwahnya dan bersedia memeluk agama
Nasrani.
Tatkala
orang-orang Habasyah menduduki Yaman untuk kedua kalinya pada tahun 525 M;
sebagai balasan atas perlakuan Dzu Nuwas yang dulu pernah dilakukannya, dan
tampuk pimpinan dipegang oleh Abrahah, maka dia menyebarkan agama Nasrani
dengan gencar dan target sasaran yang luas hingga mencapai puncaknya yaitu tatkala
dia membangun sebuah gereja di Yaman, yang diberi nama "Ka'bah
Yaman". Dia menginginkan agar haji yang dilakukan oleh Bangsa Arab
dialihkan ke gereja ini. Disamping itu,dia juga berniat menghancurkan Baitullah
di Mekkah, namun Allah membinasakannya dan akan mengazabnya di dunia dan
akhirat.
Agama
Nashrani dianut oleh kaum Arab Ghassan, suku-suku Taghlib dan Thayyi' dan
selain kedua suku terakhir ini. Hal itu disebabkan mereka bertetangga dengan
orang-orang Romawi. Bukan itu saja, bahkan sebagian raja-raja Hirah juga telah
memeluknya.
Sedangkan
agama Majusi lebih banyak berkembang di kalangan orang-orang Arab yang
bertetangga dengan orang-orang Persia yaitu orang-orang Arab di Iraq, Bahrain
(tepatnya di Ahsa'), Hajar dan kawasan tepi pantai teluk Arab yang bertetangga
dengannya. Elite-Elite politik Yaman juga ada yang memeluk agama Majusi pada
masa pendudukan Bangsa Persia terhadap Yaman.
Adapun
agama Shabi'ah; menurut penemuan yang dilakukan melalui penggalian dan
penelusuran peninggalan-peninggalan mereka di negeri Iraq dan lain-lainnya
menunjukkan bahwa agama tersebut dianut oleh kaum Ibrahim Chaldeans. Begitu
juga, agama tersebut dianut oleh mayoritas penduduk Syam dan Yaman pada zaman
purbakala. Setelah beruntunnya kedatangan beberapa agama baru seperti agama
Yahudi dan Nasrani, agama ini mulai kehilangan identitasnya dan aktivutasnya
mulai redup. Tetapi masih ada sisa-sisa para pemeluknya yang membaur dengan
para pemeluk Majusi atau hidup berdampingan dengan mereka, yaitu di masyarakat
Arab di Iraq dan di kawasan tepi pantai teluk Arab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar