Sa'id bin Zaid al Adawy RA merupakan kelompok
sahabat yang memeluk Islam pada masa-masa awal, sehingga ia termasuk dalam
kelompok as Sabiqunal Awwalun. Ia memeluk Islam bersama istrinya, Fathimah
binti Khaththab, adik dari Umar bin Khaththab. Sejak masa remajanya di masa
jahiliah, ia tidak pernah mengikuti perbuatan-perbuatan yang umumnya dilakukan
oleh kaum Quraisy, seperti menyembah berhala, bermain judi, minum minuman
keras, main wanita dan perbuatan nista lainnya.Sikap dan pandangan hidupnya ini
ternyata diwarisi dari ayahnya, Zaid bin Amru bin Naufal.
Sejak lama Zaid bin Amru telah meyakini kebenaran
agama Ibrahim, tetapi tidak mengikuti Agama Yahudi dan Nashrani yang menurutnya
telah jauh menympang dari agama Ibrahim. Ia tidak segan mencela cara-cara
peribadatan dan perbuatan jahiliah dari kaum Quraisy tanpa rasa takut
sedikitpun. Ia pernah bersandar di dinding Ka'bah ketika kaum Quraisy sedang
melakukan ritual-ritual penyembahannya, dan ia berkata, "Wahai kaum
Quraisy, apakah tidak ada di antara kalian yang menganut agama Ibrahim selain
aku??"
Zaid bin Amru juga sangat aktif menentang
kebiasaan kaum Quraisy mengubur hidup-hidup anak perempuannya, karena dianggap
sebagai aib, seperti yang pernah dilakukan Umar bin Khaththab di masa
jahiliahnya. Ia selalu menawarkan diri untuk mengasuh anak perempuan tersebut.
Ia juga selalu menolak memakan daging sembelihan yang tidak disebutkan nama
Allah saat penyembelihannya, dan juga penyembelihan untuk berhala-berhala.
Seakan-akan ia memperoleh ilham, ia pernah
berkata kepada sahabat dan kerabatnya, "Aku sedang menunggu seorang Nabi
dari keturunan Ismail, hanya saja, rasanya aku tidak akan sempat melihatnya,
tetapi saya beriman kepadanya dan meyakini kebenarannya…..!!"
Zaid bin Amru sempat bertemu dan bergaul dengan
Nabi Muhammad SAW sebelum beliau dikukuhkan sebagai Nabi dan Rasul, sosok
pemuda ini (yakni, Nabi Muhammad SAW) sangat mengagumkan bagi dirinya, di samping
akhlaknya yang mulia, pemuda ini juga mempunyai pandangan yang sama dengan
dirinya tentang kebiasaan dan ritual jahiliah kaum Quraisy. Tetapi
Zaidmeninggal ketika Kaum Quraisy sedang memperbaiki Ka'bah, yakni, ketika Nabi
SAW berusia 35 tahun.
Dengan didikan seperti itulah Sa'id bin Zaid
tumbuh dewasa, maka tak heran ketika Nabi SAW menyampaikan risalahnya, ia dan
istrinya langsung menyambut seruan beliau. Tak ada ketakutan dan kekhawatiran
walau saat itu kaum Quraisy melancarkan siksaan yang tak terperikan kepada para
pemeluk Islam, termasuk Umar bin Khaththab, kakak iparnya sendiri yang
merupakan jagoan duel di pasar Ukadz. Hanya saja ia masih menyembunyikan
keislamannya dan istrinya. Sampai suatu ketika Umar yang bertemperamen keras
itu mengetahuinya juga.
Ketika itu Sa'id dan istrinya sedang mendapatkan
pengajaran al Qur'an dari sahabat Khabbab bin Arats,tiba-tiba terdengar
ketukan, atau mungkin lebih tepat gedoran di pintu rumahnya. Ketika ditanyakan
siapa yang mengetuk tersebut, terdengar jawaban yang garang,
"Umar..!!"
Suasana khusyu' dalam pengajaran al Qur'an
tersebut menjadi kacau, Khabbab segera bersembunyi sambilterus berdoa memohon
pertolongan Allah untuk mereka. Sa'id dan istrinya menuju pintu sambil
menyembunyikan lembaran-lembaran mushaf di balik bajunya. Begitu pintu dibuka
oleh Sa'id, Umar melontarkan pernyataan keras dengan sorot mata menakutkan,
"Benarkan desas-desus yang kudengar, bahwa kalian telah murtad?"
Sebelum kejadian itu, sebenarnya Umar telah
membulatkan tekad untuk membunuh Nabi SAW. Kemarahannya telah memuncak karena
kaum Quraisy jadi terpecah belah, mengalami kekacauan dan kegelisahan, penyebab
kesemuanya itu adalah dakwah Islamiah yang disampaikan Nabi SAW. Dalam
pemikiran Umar, jika ia menyingkirkan/membunuh beliau, tentulah kaum Quraisy
kembali tenang seperti semula. Tetapi di tengah perjalanan, ia bertemu dengan
Nu'aim bin Abdulah yang memberitahukan kalau adiknya, Fathimah dan suaminya
telah memeluk Islam. Nu'aim menyarankan agar ia mengurus kerabatnya sendiri
saja, sebelum mencampuri urusan orang lain. Karena itu, tak heran jika
kemarahan Umar itu tertumpah kepada keluarga adiknya ini.
Sebenarnya Sa'id melihat bahaya yang tampak dari
sorot mata Umar. Tetapi keimanan yang telah merasuk seolah memberikan tambahan
kekuatan yang terkira. Bukannya menolak tuduhan, ia justru berkata, "Wahai
Umar, bagaimana pendapat anda jika kebenaran itu ternyata berada di pihak
mereka ??"
Mendengar jawaban itu, Umar langsung menerkam
Sa'id, memutar kepalanya kemudian membantingnya ke tanah, setelah itu Umar
menduduki dada Sa'id. Sepertinya Umar ingin memberikan pukulan pamungkas untuk
Sa'id, seperti kalau ia mengakhiri perlawanan musuhnya ketika sedang berduel di
pasar Ukadz. Fathimah mendekat untuk membela suaminya, tetapi ia mendapat tinju
keras Umar di wajahnya sehingga terjatuh dan darah mengalir dari bibirnya.
Keadaan Sa'id sangat kritis, ia bukan lawan duel sebanding dengan Umar, dan ia
hanya bisa pasrah jika Umar akan menghabisinya.
Tetapi tiba-tiba terdengar pekikan keras istrinya,
Fathimah. Bukan ketakutan, tetapi pekikan perlawanan dan permusuhan dengan
penuh keberanian, "Hai musuh Allah, kamu berani memukul saya karena saya
beriman kepada Allah…! Hai Umar, perbuatlah yangkamu suka, karena saya akan
tetap bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Allah, dan bahwa Muhammad
adalahRasullullah…!"
Umar tersentak bagai disengat listrik, pekikan
itu seakan menembus ulu hatinya … terkejut dan heran. Umar bin Khaththab seakan
tak percaya, wanita lemah ini, yang tidak lain adiknya sendiri berani
menentangnya. Tetapi justru dari keheranan dan ketidak-percayaannya ini,
amarahnya menjadi reda, dan kemudian menjadi titik balik ia memperoleh hidayah
dan akhirnya memeluk Islam.
Sebagaimana sahabat-sahabat yang memeluk Islam
pada masa awal, Sa’id bin Zaid merupakan sosok yang banyak menghabiskan
waktunya untuk beribadah, seorang alim yang sangat zuhud. Hampir tidak pernah
tertinggal dalam berbagai pertempuran dalam menegakkan panji-panji keimanan. Ia
tidak mengikuti perang Badar, karena saat itu ia ditugaskan Nabi SAW untuk
tugas mata-mata ke Syam bersama Thalhah bin Ubaidillah. Tetapi beliau
menetapkannya sebagai Ahlul Badr dan memberikan bagian ghanimah dari perang
Badar, walau secara fisik tidak terjun dalam pertempuran tersebut. Ada tujuh
sahabat lainnya seperti Sa'id, tidak mengikuti perang Badar, tetapi Nabi SAW
menetapkannya sebagai Ahlul Badr.
Sa'id juga termasuk dalam kelompok sepuluh
sahabat yang dijamin oleh Nabi SAW akan masuk surga dalam masa hidupnya.
Sembilan sahabat lainnya adalah, empat sahabat Khulafaur Rasyidin, Abdurrahman
bin Auf, Sa'd bin Abi Waqqash, Zubair bin Awwam, Thalhah bin Ubaidillah dan Abu
Ubaidah bi Jarrah R.Hum.
Sa'id sempat mengalami masa kejayaan Islam, di
mana wilayah makin meluas dan makin banyak lowongan jabatan. Sesungguhnyalah ia
pantas memangku salah satu dari jabatan-jabatan tersebut, tetapi ia memilih
untuk menghindarinya. Bahkan dalam banyak pertempuran yang diterjuninya, ia
lebih memilih menjadi prajurit biasa. Dalam suatu pasukan besar yang dipimpin
oleh Sa'd bin Abi Waqqash, setelah menaklukan Damaskus,Sa'd menetapkan dirinya
sebagai wali negeri/gubernur di sana. Tetapi Sa'id bin Zaid meminta dengan
sangat kepada komandannya itu untuk memilih orang lain memegang jabatan
tersebut, dan mengijinkannya untuk menjadi prajurit biasa di bawah
kepemimpinannya. Ia ingin terus berjuang menegakkan kalimat Allah dan
panji-panji kebenaran, suatu keadaan yang tidak bisa dilakukannyan jika ia
memegang jabatan wali negeri.
Seperti halnya jabatan yang dihindarinya, begitu
juga dengan harta dan kemewahan dunia. Tetapi sejak masa khalifah Umar, harta
kekayaan datang melimpah-ruah memenuhi Baitul Mal (Perbendaharaan Islam),
sehingga mau tidak mau, sahabat-sahabat masa awal seperti Sa’id bin Zaid akan
memperoleh bagian juga. Bahkan khalifah Umar memberikan jatah (bagian) lebih
banyak daripada bagian sahabat yang memeluk Islam belakangan, yaitu setelah
terjadinya Fathul Makkah. Namun, setiap kali ia memperoleh pembagian harta atau
uang, segera saja ia menyedekahkannya lagi, kecuali sekedarnya saja.
Namun dengan cara hidupnya yang zuhud itu, masih
juga ada orang yang memfitnah dirinya bersikap duniawiah. Peristiwa itu terjadi
pada masa pemerintahan Muawiyah, ketika ia telah menghabiskan sisa hidupnya
hanya untuk beribadah di Madinah. Seorang wanita bernama Arwa binti Aus menuduh
Sa’id telah merampas tanah miliknya. Pada mulanya Sa’id tidak mau terlalu
perduli atau melayani tuduhan tersebut, ia hanya membantah sekedarnya dan
menasehati wanita itu untuk tidak membuat kedustaan. Tetapi wanita itu tetap
saja dengan tuduhannya, bahkan ia melaporkan kepada gubernur Madinah.
Marwan bin Hakam, gubernur Madinah yang masih
paman dari Muawiyah, atas laporan Arwa bin Aus itu memanggil Sa’id untuk
mempertanggung-jawabkan tindakannya. Setelah menghadap, Sa’id membantah tuduhan
itu, ia berkata, “Apakah mungkin aku mendzalimi wanita ini (yakni merampas
tanahnya), sedangkan aku mendengar sendiri Rasulullah SAW bersabda : Barang siapa
yang mendzalimi seseorang dengan sejengkal tanah, maka Allah akan melilitnya
dengan tujuh lingkaran bumi pada hari kiamat kelak!!”
Sa’id memang meriwayatkan beberapa hadits Nabi
SAW, termasuk hadits yang dijadikan hujjahnya itu. Ada hadits senada lainnya
yang juga diriwayatkannya, yakni : Barang siapa yang berbuat dzalim terhadap
sejengkal tanah, maka akan dikalungkan kepadanya tujuh lapis bumi, dan barang
siapa yang terbunuh karena membela hartanya, maka ia mati syahid.
Kemudian Sa’id berbalik menghadap kiblat dan
berdoa, “Ya Allah, apabila dia (wanita itu) sengaja membuat-buat kebohongan
ini, janganlah engkau mematikan dirinya kecuali setelah ia menjadi buta, dan
hendaklah Engkau jadikan sumurnya sebagai kuburannya…!!”
Beberapa waktu kemudian Arwa binti Aus menjadi
buta, dan dalam keadaan seperti itu ia terjatuh ke dalam sumur miliknya sendiri
dan mati di dalamnya. Sebenarnya saat itu Sa’id berdoa tidak terlalu keras,
tetapi beberapa orang sempat mendengarnya. Mereka segera saja mengetahui kalau
Sa’id bin Zaid dalam kebenaran, dan doanya makbul. Namanya dan kebaikannya jadi
semakin dikenal, dan ia banyak didatangi orang untuk minta didoakan.
Seperti halnya jabatan dan harta kekayaan,
ke-terkenal-an (popularitas) juga tidak disukai oleh Sa’id bin Zaid ini.
Walaupun ia sebagai sahabat as sabiqunal awwalin, selalu berjuang dan berjihad
di jalan Allah setiap kali ada kesempatan, dan menghabiskan waktu dengan ibadah
ketika sedang ‘menggantungkan pedang’, bahkan telah dijamin masuk surga oleh
Rasulullah SAW ketika masih hidup bersama (hanya) sembilan sahabat lainnya,
tetapi ia tidak terlalu menonjol dan terkenal dibanding sahabat-sahabat lainnya
yang memeluk Islam belakangan, seperti misalnya Khalid bin Walid, Amr bin Ash,
Salman al Farisi dan lain-lainnya. Hal ini terjadi karena ia memang lebih suka
‘menyembunyikan diri’, lebih asyik menyendiri dalam ibadah bersama Allah, walau
secara lahiriah ia berada di antara banyak sahabat lainnya. Setelah peristiwa
dengan Arwa bin Aus dan banyak orang yang mendatangi dirinya, Sa’id merasa
tidak nyaman. Apalagi kehidupan kaum muslimin saat itu, walau tinggal di
Madinah, tetapi makin banyak saja yang ‘mengagung-agungkan’ kemewahan dunia.
Jejak kehidupan Nabi SAW dan para sahabat masa awal, baik dari kalangan
Muhajirin ataupun Anshar, yang selalu sederhana dan zuhud terhadap dunia
sedikit demi sedikit mulai memudar. Karena itu Sa’id pindah ke daerah
pedalaman, yakni di Aqiq, dan ia wafat di sana pada tahun 50 atau 51 hijriah.
Tetapi jenazahnya dibawa pulang ke Madinah oleh Sa'd bin Abi Waqqash dan
Abdullah bin Umar, keponakannya sendiri, kemudian dimakamkan di Baqi, di antara
beberapa sahabat Rasulullah SAW lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar