Kamis, 08 Desember 2016

Kebajikan dan Psikologi Situasi



Ini ada suatu kesalahan dalam gambaran pertama dari sifat karakter yang mengakar dengan kuat. Kami akan mengasumsikan sifat untuk menjelaskan mengapa setiap orang berperilaku dengan cara yang berbeda dalam situasi tertentu. Jika semisalnya kita ingin menjelaskan mengapa beberapa siswa mencontek dalam tugas kuliah mereka, kita mungkin berpikir bahwa beberapa siswa belum membangun karakter sifat jujur, dll. Dari banyaknya pengalaman belajar menyarakankan factor situasi seperti ada atau tidak adanya kesempatan untuk mencontek dapat diprediksi dengan baik apakah sesungguhnya orang akan mencontek daripada berpura-pura mendasari karakter. Mengingat mamfaat disini membuat berbeda di chapter 1 antara situasi dan lingkungan. Etika lingkungan seringkali relevan, agak berbeda sebrang dari mencontek dalam studi: di dalam lingkungan yang mana pada akhirnya pelayanan tidak jujur dibayar dengan ide jujur, dan yang mana secara keseluruhan hal ini mungkin akan mudah dan tidak terlalu rumit untuk orang agar menjadi jujur di dalam kehidupan sehari-hari, tetapi dimana contoh yang mencolok dari jujur ditegakkan dalam menghadapi godaan dan kesempatan (jenis contoh dari Kant akan disukai) langka.

Pendekatan situasi dalam psikologi sosial mempertanyakan sejauh mana perilaku individu dan terutama perbedaan antara perilaku salah satu orang dengan orang lain, dapat dijelaskan dengan ciri-ciri karakter dari setiap individu atau dari ada dan tidak adanya kebajikan. Ada beberapa studi klasik yang sering dibuat untuk referensi. Yang pertama yaitu Milgram, studi ketaatan dan kekuasaan, yang sudah disebutkan di chapter 1. Upaya lain untuk meniru perumpamaan eksperimental Samania yang baik, oleh Darley dan Batson (1973). Peneliti ini meminta ketua murid untuk siap berbicara dan kemudian berjalan ke gedung di dekatnya untuk menyampaikannya. En routeto berbicara, setiap siswa menemui seorang pria yang berbaring di jalan, dengan masalah yang jelas. Beberapa siswa berhenti untuk menolong, yang lainnya terus berjalan. 

Kita dapat mencoba untuk membedakannya disini, seperti yang Darley dan Batson lakukan, dalam hal sifat karakter siswa yang berbeda; mungkin mereka yangbingin menjadi pemimpin untuk alasan yang altruistik bisa memberikan satu jenis contoh kebajikan, mereka yang mencari pemenuhan spiritual lain untuk mereka sendiri. Kita dapat berspekulasi dengan lebih luas tentang etika lingkungan dalam waktu berlangsungnya percobaan: pasti ada ide tertentu dan sikap yang siswa bawa ke dalam situasi, dan diantara mereka sendiri sebelum berkenalan dengana perumpamaan yang baik dari Samaritan. Tapi satu-satunya variabel yang dapat ditampilkan untuk menjadi signifikan dalam membedajan Samarua baik dari salah satu sisa situasional yang dibangun oleh Darley dan Batson untuk menjadi eksperimen: apakah mahasiswa itu diberitahu atau tidak diberitahu bahwa ia terlambat. Mereka yang terburu-buru, terlepas dari variabel lain, kemungkinan kecil untuk berhenti.

Dalam penjelasan kita dari tindakan seseorang sehari-hari, kita sering membawa sifat karakter ke dalam cerita. Samaria yang baik memiliki keutamaan kasih sayang; kekurangan farisi kebajikan tetapi memiliki muka dua (munafik). Jika seseorang tidak mencuri hal ini karena orang itu jujur: jika lainnya melakukan ini karena orang itu tidak jujur, dsb. Psikologi situasi sosial, membangun eksperimen seperti yang disebutkan, telah mempertanyakan asumsi ini. Istilah atribusi kesalahan fundamental telah diciptakan untuk kesalahan (jika memang kesalahan) berpikir bahwa ada karakter stabil yang menjelaskan perbedaan pada orang yang melakukan (Ross dan Nesbitt 1991).

Semenjak mereka para studi klasik telah ada sedikit studi yang muncul dengan hasil yang begitu dramatik (bagian ini tidak diragukan lagi, karena penipuan dari eksperimental pada mata pelajaran integral dari studi olrh Milgram dan oleh Darley dan Batson mungkin sekarang akan dikesampingkan oleh para komite penelitian etika). Tetapi secara keseluruhan ide situationisme masih sangat hidup. Baru-baru inu mungkin tidak banyak fokus tentang apa itu yang benar-benar menjelaskan mengapa suatu individu berperilaku di salah satu cara dan cara lain, tetapi selengkapnya tentang psikologi rakyat mengasumsikan bahwa orang yang polos tentang psikologi akademik cenderung membuat pengertian yang seperti itu. Istilah korespondensi telah berprasangka kecenderungan yang digunakan untuk mensyarakat luas untuk berpikir bahwa penjelasan tentang perilaku ketenangan masyarakat (orang lain bahkan mereka sendiri) dalam kualitas pribadi daripada situasi eksternal (Gilbert dan Malone 1995). Investigasi empiris dari prasangka ini berlanjut; salah satu contoh studi yang baru-baru ini, dalam membangun pengrusakan dari Tower Kembar di Ney York 11 September 2001, dari subjek variabel di Amerika cenderung untuk beratribusi dalam tindakan teroris terhadap motivasi individu atau situasi dimana mereka menemukan dirinya sendiri (Riggs dan Gumbrech 2005).

Orang-orang itu memiliki arah prasangka untuk menjelaskan perilaku oleh referensi untuk kualitas pribadi daripada ke situasi yang mungkin menjadi kebenaran psikologi rakyat (subjek, tiada gunanya untuk berkata, terlalu banyak kualifikasi). Yang sebenarnya ada tidak adanya hal-hal seperti kestabilan kualifikasi pribadi yang dapat membuat perbedaan bagaimana orang akan berperilaku menjadi klaim yang jauh lebih kuat dan jauh lebih sulit untuk membangun. Sementara sebagian penulis filosofis kebajikan mempertimbangkan psikologi situasi sosial, mereka yang bereaksi dengan berbagai tingkat kewaspadaan tentang realitas psikologi kebajikan. Annas (2003) membuat poin penting yang menolak realitas kebajikan karena adanya demonstrasi relevansi situasi yang menjelaskan perilaku yang salah dalam menghadapi sifat kebajikan. Seperti yang telah dikatakan yang diatas, untuk memiliki keutamaan tidak harus memiliki pola perilaku memimpin yang menetap untuk bertindak membabi buta dalam cata tertentu terlepas dari situasi sekitar. Sebaliknya, orang yang berbudi luhur adalah salah satu cara yang tidak mempertimbangkan dalam mengambil situasi dan merespon dengan cara yang sesuai.

Apapun kesimpulan kami pada realitas dan stabilitas kebajikan. Kita perlu menyadari pentingnya situasi dan faktor lingkungan. Faktor situasi mungkin di luar jangkauan eksperimental psikologi sosial, menjadi tidak terduga dan tak terkendali; setidaknya kita tidak boleh terlalu optimis jika kita hanya bisa mendidik orang dengan benar, mereka akan menjadi faktor yang kebal. Etika lingkungan yang lebih luas adalah hal yang berbeda lagi, tidak hanya kualitas etika lingkungan yang penting dalam mempengaruhi bagaimana orang dewasa berperilaku terhadap satu sama lain; hal ini juga penting dalam mempengaruhi keberhasilan atau apapun nilai pendidikan yang kita coba lakukan. Ada kemungkinan bahwa dalam menghormati nilai pendidikan benar-benar relative lebih mudah dalam masyarakat seperti apa kata Aristoteles hanya karena ada hal pasti yang berkonsisten besar dalam mempengaruhi orang muda. Namun, kita harus mengingat nilai pluralitas. Konsisten bukan segalanya; kita mungkin memiliki contoh alasan untuk mendukung keberagaman, tetap toleran terhadap lingkungan homogeneus yang tidak konsisten, menindas dan satu konsisten.

Apapun kebenaran yang mungkin tentang kestabilan realitas dari karakter, seperti sifat, bahasa yang kita gunakan untuk nama mereka, dan kecenderungan kami untuk bersifat kepada orang-orang, yang penting dalam diri mereka adalah bagian dari etika lingkungan kita. Gagasan dari seseorang yang memiliki kebajikan tertentu dapat berfungsi sebagi ide regulatif bagi kita. Salah satu dari kita bertanya ‘apa yang akan dilakukan oleh orang yang penuh dengan kasih sayang, atau orang yang murah hati atau orang yang perasa dalam kasus seperti ini?’ dan kita mungkin menemukan bahwa kita bisa menjawab pertanyaan seperti itu, tidak, tentu saja, melalui investigasi empiris, tetapi dengan bekerja melalui pemahaman dari apa itu untuk menjadi orang yang seperti itu. Kemudian juga, kita dapat menggunakan bahasa kebajikan untuk mengevaluasi tindakan serta karakter (seperti komentar Aristoteles ‘kami hanya menjadi [orang] yang hanya dengan melakukan tindakan). Dengan menggunakan bahasa kita sendiri, mungkin kita dapat memberikan alasan untuk tindakan yang dilakukan orang-orang muda (’jangan kasar’, ‘ini semacam hal baik yang dapat dilakukan’) yang mana dapat membuat perbedaan, bahkan jika gagasan mereka akan mengembangkan sifat karakter yang menetap harus berubah menjadi ilusi.
 
Kemudian penemuan psikologi situasi, sejauh ini belum memberikan kita alasan kuat untuk meninggalkan menggunakan bahasa kebajikan, mungkin terutama ketika kita ingin mendorong orang-orang dengan memuji mereka. Disisi lain, terutama ketika kita berhubungan dengan anak-anak, harus berhati-hati dalam menggunakan bahasa kejahatan (karakter buruk yang menetap) dalam menyalahkan orang. Jika seseorang seringkali berharap positif dari kita, mereka mungkin juga berharap negatif ke kita. Orang-orang yang telah bertindak secara tidak jujur, kadangkali mungkin mereka lebih memilih untuk melanjutkan untuk bertindak secara tidak jujur jika kita telah melabeli mereka sebagai orang yang ‘tidak jujur’. Untuk sejauh ini, kesalahan atribusi benar-benar salah, mungkin dengan mengubah perhatian kita untuk menjauh dari faktor lingkungan, bahwa kita harus menanganinya.

Hal yang sama mungkin mengatakan dengan berbagai tingkat kekuatan, semua konsepsi nilai pendidikan yang telah kami survey dalam bab ini. Bahkan jika titik awal mereka adalah keinginan untuk kebaikan seluruh masyarakat daripada untuk kepentingan individu baik setiap orang yang berpendidikan, pendekatan ini untuk berkonsentrasi pada nilai pendidikan dalam membedakan pendidikan yang dapat membuat perilaku individu untuk beepikir atau berkatakter. Dalam melakukan itu, mereka mungkin membayar perhatian lebih pada etika lingkungan yang terlalu sedikit. Mungkin ada implisit bahwa jika pendidikan individu adalah hasil dari kebiasaan yang benar, etika lingkungan yang sesuai akan datang dengan sendirinya. Tetapi jika kita melengkapi seperti pendekatan lebih oleh perhatian eksplisit terhadap lingkungan, maka cara lain untuk berpikir tentang nilai-nilai pendidikan akan nampak.

Di akhir bab  dari buku ini akan menunjukkan dua cara berpikir tentang tugas pendidikan dalam kaitannya dengan nilai-nilai. Satu, mengambil perspektif yang berkembang dari masyarakat: itu melihat pendidikan sebagai salah satu cara dimana masyarakat dapat memgembangkan dan mempertahankan kualitas etika lingkungan. Di sisi lain mengambil pandangan yang berkembang dari individu: itu melihat pendidikan sebagai salah satu cara dimana dapat membantu seseorang untuk menemukan jalan mereka melalui kompleksitas etika lingkungan di sekitar mereka. Saya berpendapat bahwa, dua bagian dari argumen tersebut merupakan dua perspektif dari nilai-nilai pendidikan yang saling kompatibel dan saling melengkapi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar