Kamis, 08 Desember 2016

Munculnya Islamisasi Ilmu Pengetahuan



Tahun 1880-an, Nietzsche telah mengkritik paradigma rasional yang menjadi ukuran kebenaran pengetahuan Barat. Menurutnya, budaya Barat diambang kehancuran apabila terlalu mendewakan rasio. Tahun 1990-an, Fritjof Capra juga menyatakan bahwa budaya Barat telah hancur karena terlalu mendewakan rasio.

Kritik Capra disajikan dalam dua bukunnya; The Tao of Phsyic dan  The Turning Piont: Science, Society and The Rising Culture. Buku pertama menggemparkan filsafat fisika karena dalam buku tersebut, Capra telah menghubungkan fisika dengan spiritualisme. Jelas sekali buku ini mengkritik filsafat fisika Barat yang anti Tuhan. Buku kedua berisi uraian tentang proses dan bukti kehancuran budaya Barat. Dari dua buku ini, tampak kental kritik Capra terhadap filsafat Barat yang menjadi alasan utama kehancuran budaya barat.

Proses kehancuran barat menurut Capra ini bisa digambarkan dalam skema berikut:
1.    Rasionalisme.
2.    Cartesian dan Newtonian
3.    Paradigma Sain yang tunggal
4.    Budaya barat
5.    Kehancuran (kacau, penuh kontradiksi).

Berdasarkan skema tersebut dapat kita simpulkan bahwa kehancuran budaya Barat disebabkan karena paradigma sain Barat yang muncul dari pemikiran Cartesian dan Newtonian. Pemikiran Cartesian dan Newtonian ini berangkat dari filsafat rasionalisme (dan empirisisme) yang menjadi mazhab filsafat keduanya.

Bagaimana mencegah pengaruh kehancuran Barat terhadap kehancuran budaya dunia? Capra menawarkan paradigma lain untuk mendesain kembali budaya dunia. Ia menghendaki agar I Ching menjadi formula baru paradigma sain. Menurutnya, filsafat Cina ini mampu melihat dunia secara keseluruhan sebagai sebuah sistem.

Pemikiran Capra membuka peluang bagi Islam sebagai salah satu filsafat-yang bukan hanya mampu melihat dunia sebagai sebuah sistem, tapi juga telah membuktikannya dengan piagam Madinah-untuk tampil menjadi alternatif bagi paradigma sain dunia yang kacau ini. (di)tampil(kan)-nya Islam menawarkan aternatif lain ini membuktikan bahwa Islam bisa dihubungkan dengan sain. Sementara itu kenyataan gagalnya paradigma sain Barat dalam membangun budaya dunia menjadi latar belakang munculnya islamisasi ilmu pengetahuan dan memicu beragam pemahaman tentangnya.

Pemikiran tentang Islamisasi ilmu pengetahuan beritik tolak dari pemikiran tentang hubungan antara islam dan ilmu modern(sain). Beragam pendapat muncul untuk menafsirkan hubungan tersebut, baik pendapat yang pro maupun kontra. Pada tahun 1883, Ernest Renan mengangkat polemik tentang wahyu dan akal. Menurutnya, agama dan ilmu pengetahuan bersifat abadi, sehingga kebenaran keduanya bersifat absolut.

Premis sekuler ini mendapat reaksi dari Jamaludin al-Afghani, salah seorang pemikir Muslim dengan seruan agar  umat Islam bersatu dalam sebuah kesadaran kolektif (Pan-Islamisme). Harun Nasution, seorang filosof Muslim Indonesia, menjelaskan hubungan antara Islam dan Ilmu pengetahuan berada pada wilayah ajaran-ajaran Islam yang bersifat relatif dan nisbi. Wilayah ajaran Islam ini cocok dengan kebenaran ilmu pengetahuan yang bersifat relatif dan nisbi.

       Osman Bakar (seorang pakar epistemologi sain dari Malaysia) lebih khusus lagi menjelaskan hubungan antara Islam dan ilmu pengetahuan dengan istilah tauhid dan sain. Tauhid, yang merupakan doktrin metafisika keesaan Allah yang terkandung dalam kalimat pertama kesaksian keimanana (syahadat) adalah ide utama yang membentuk karakter hubungan tersebut. Dalam mempraktikkannya, umat Islam memberikan ekspresi dalam teori dan prakteknya kepada dua prinsip paling fundamental hubungan tauhid dan sains, yaitu kesatuan kosmis dan kesatuan pengetahuan dan sains.

Diskursus hubungan Islam dan sains, dalam perkembangannya sampai pada terminologi Islamisasi pengetahuan dari Naquib al-Attas yang kemudian diusung oleh Isma’il Raji al-Faruqi dan Ziaudin Sardar dengan proyek sain Islamnya. Naquib al-Attas mengembangkan konsep Islamisasi ilmu pengetahuan dari Syed Hossein Nasr, seorang pemikir muslim Amerika kelahiran Iran. Nasr meletakkan asas sains Islam dalam aspek teori dan prakteknya melalui karyanya Science and Civilization in Islam (1968) dan Islamic Science (1976). Hal ini ia lakukan karena menyadari adanya bahaya sekularisme dan modernisme yang akan mengancam dunia Islam.

Sementara itu, dengan konsep sains Islamnya, Sadar mengkritik islamisasi ilmu pengetahuan yang diartikan sebagai mengislamkan seluruh sains. Ia juga mengkritik pendapat yang menjelaskan adanya relevansi antara ilmu pengetahuan Islam dengan sains Barat. Baginya tidak mungkin sains Barat relevan dengan sain Islam karena sudah nampak perbedaan paradigma antara keduanya. Baginya, islamisasi ilmu pengetahuan harus berangkat dari membangun epistemologi Islam sehingga benar-benar bisa menghasilkan sistem ilmu pengetahuan yang dibangun di atas fondasi ajaran Islam.

 Sejak jaman Isma’il Raji al-Faruqi sampai sekarang, islamisasi ilmu pengetahuan menjadi tema akademis yang sering dibahas dalam forum-forum ilmiah. Kehadirannya memperluas cakrawala pengetahuan umat Islam, dan sekaligus menjadi wacana ilmiah yang sering diperdebatkan oleh para pengkajinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar