Tahun 1880-an, Nietzsche telah
mengkritik paradigma rasional yang menjadi ukuran kebenaran pengetahuan Barat.
Menurutnya, budaya Barat diambang kehancuran apabila terlalu mendewakan rasio.
Tahun 1990-an, Fritjof Capra juga menyatakan bahwa budaya Barat telah hancur
karena terlalu mendewakan rasio.
Kritik Capra disajikan dalam dua
bukunnya; The Tao of Phsyic dan The Turning Piont: Science,
Society and The Rising Culture. Buku pertama menggemparkan filsafat
fisika karena dalam buku tersebut, Capra telah menghubungkan fisika dengan
spiritualisme. Jelas sekali buku ini mengkritik filsafat fisika Barat yang anti
Tuhan. Buku kedua berisi uraian tentang proses dan bukti kehancuran budaya
Barat. Dari dua buku ini, tampak kental kritik Capra terhadap filsafat Barat
yang menjadi alasan utama kehancuran budaya barat.
Proses kehancuran barat menurut Capra
ini bisa digambarkan dalam skema berikut:
1. Rasionalisme.
2.
Cartesian dan Newtonian
3.
Paradigma Sain yang tunggal
4.
Budaya barat
5.
Kehancuran (kacau, penuh kontradiksi).
Berdasarkan skema tersebut dapat kita
simpulkan bahwa kehancuran budaya Barat disebabkan karena paradigma sain Barat
yang muncul dari pemikiran Cartesian dan Newtonian. Pemikiran Cartesian dan
Newtonian ini berangkat dari filsafat rasionalisme (dan empirisisme) yang
menjadi mazhab filsafat keduanya.
Bagaimana mencegah pengaruh kehancuran
Barat terhadap kehancuran budaya dunia? Capra menawarkan paradigma lain untuk
mendesain kembali budaya dunia. Ia menghendaki agar I Ching menjadi
formula baru paradigma sain. Menurutnya, filsafat Cina ini mampu melihat dunia
secara keseluruhan sebagai sebuah sistem.
Pemikiran Capra membuka peluang bagi
Islam sebagai salah satu filsafat-yang bukan hanya mampu melihat dunia sebagai
sebuah sistem, tapi juga telah membuktikannya dengan piagam Madinah-untuk
tampil menjadi alternatif bagi paradigma sain dunia yang kacau ini.
(di)tampil(kan)-nya Islam menawarkan aternatif lain ini membuktikan bahwa Islam
bisa dihubungkan dengan sain. Sementara itu kenyataan gagalnya paradigma sain
Barat dalam membangun budaya dunia menjadi latar belakang munculnya islamisasi
ilmu pengetahuan dan memicu beragam pemahaman tentangnya.
Pemikiran tentang Islamisasi ilmu
pengetahuan beritik tolak dari pemikiran tentang hubungan antara islam dan ilmu
modern(sain). Beragam pendapat muncul untuk menafsirkan hubungan tersebut, baik
pendapat yang pro maupun kontra. Pada tahun 1883, Ernest Renan mengangkat
polemik tentang wahyu dan akal. Menurutnya, agama dan ilmu pengetahuan bersifat
abadi, sehingga kebenaran keduanya bersifat absolut.
Premis sekuler ini mendapat reaksi dari
Jamaludin al-Afghani, salah seorang pemikir Muslim dengan seruan agar
umat Islam bersatu dalam sebuah kesadaran kolektif (Pan-Islamisme). Harun
Nasution, seorang filosof Muslim Indonesia, menjelaskan hubungan antara Islam
dan Ilmu pengetahuan berada pada wilayah ajaran-ajaran Islam yang bersifat
relatif dan nisbi. Wilayah ajaran Islam ini cocok dengan kebenaran ilmu pengetahuan
yang bersifat relatif dan nisbi.
Osman Bakar (seorang pakar epistemologi sain dari Malaysia) lebih khusus
lagi menjelaskan hubungan antara Islam dan ilmu pengetahuan dengan istilah
tauhid dan sain. Tauhid, yang merupakan doktrin metafisika keesaan Allah yang
terkandung dalam kalimat pertama kesaksian keimanana (syahadat) adalah ide
utama yang membentuk karakter hubungan tersebut. Dalam mempraktikkannya, umat
Islam memberikan ekspresi dalam teori dan prakteknya kepada dua prinsip paling
fundamental hubungan tauhid dan sains, yaitu kesatuan kosmis dan kesatuan
pengetahuan dan sains.
Diskursus hubungan Islam dan sains,
dalam perkembangannya sampai pada terminologi Islamisasi pengetahuan dari
Naquib al-Attas yang kemudian diusung oleh Isma’il Raji al-Faruqi dan Ziaudin
Sardar dengan proyek sain Islamnya. Naquib al-Attas mengembangkan konsep
Islamisasi ilmu pengetahuan dari Syed Hossein Nasr, seorang pemikir muslim
Amerika kelahiran Iran. Nasr meletakkan asas sains Islam dalam aspek teori dan
prakteknya melalui karyanya Science and Civilization in Islam (1968) dan
Islamic Science (1976). Hal ini ia lakukan karena menyadari adanya bahaya sekularisme dan modernisme yang
akan mengancam dunia Islam.
Sementara itu, dengan konsep sains
Islamnya, Sadar mengkritik islamisasi ilmu pengetahuan yang diartikan sebagai
mengislamkan seluruh sains. Ia juga mengkritik pendapat yang menjelaskan adanya
relevansi antara ilmu pengetahuan Islam dengan sains Barat. Baginya tidak
mungkin sains Barat relevan dengan sain Islam karena sudah nampak perbedaan
paradigma antara keduanya. Baginya, islamisasi ilmu pengetahuan harus berangkat
dari membangun epistemologi Islam sehingga benar-benar bisa menghasilkan sistem
ilmu pengetahuan yang dibangun di atas fondasi ajaran Islam.
Sejak
jaman Isma’il Raji al-Faruqi sampai sekarang, islamisasi ilmu pengetahuan
menjadi tema akademis yang sering dibahas dalam forum-forum ilmiah.
Kehadirannya memperluas cakrawala pengetahuan umat Islam, dan sekaligus menjadi
wacana ilmiah yang sering diperdebatkan oleh para pengkajinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar