Jumat, 30 Desember 2016

Model Pendidikan Islam menurut pandangan KH. Syeikh Nawawi Al-Bantan


Pertama, latar belakang pendidikan agama, seperti pesantren. Pengetahuan agamanya yang mendalam nampak jelas dalam berbagai model pendidikan yang dimunculkannya. Seperti selalu mengutip ayat-ayat Al-Qur’an, Sunah nabi, perkataan sahabat, tabi’in tbi’ al tabi’in, riwayat-riwayat lain sering kali tidak menyebutkan perawinya, dan perkataan ulama ternama. Bahkan hadis yang sohihpun dijadikan sebagai referensi.

Dia berprinsip hadis dhaif pun tidak baik diabaikan dan dapat dipergunakan untuk keutamaan beramal (fadail al-a’mal), sebagaimana yang dikatakan Ibnu Hajar dalam Tanbih Al-Akhyar. Hadis dhaif pun merupakan hujjah (argument) dalam fadail al-a’mal dengan kesepakatan ulama, sebagaimana yang disebutkan dalam Syarh al-Muhazzab dan lainnya. Pendekatan dengan pola pengamatan makna kebahasan banyak terdapat penafsirannya  dalam kitab Qami’ al al-tugyan.

Hampir semua karyanya baik berupa Syarh, atau hasyiyah atau karya asli dalam bahasa Arab, sekalipun dia berasal dari Indonesia. Kedua, para pendidiknya juga mewarnai model pendidikan dan kepribadian Syeikh Nawawi. Sebagaimana dikatakan oleh Ma’ruf Amin dan Anshory, bahwa ulama yang cukup mewarnai prinsip keilmuan dalam model pendidikan Syeikh Nawawi adalah (1) Syekh Sayyid Akhmad Nakhrawi dan (2) Syekh Sayyid Ahmad Dimyati.

Sebab dua ulama inilah yang mula-mula membimbing Syekh Nawawi dalam berbagai disiplin ilmu, membentuk karakternya dengan sikap positif di dalam menghadapi gonvangan psikologi yang ada dan mengajarinya untuk selalu memegang nilai-nilai agama dan menetapkan prinsip akidah.

Disamping keduanya juga (3) Syekh sayyid Ahmad Zaini Dahlan dan (4) Syekh Muhammad Khatib Hambali. Ketiga, ialah mazhab dan tarekat yang dianutnya yakni mahzab Syafi’i dan tarekat qadiriyah. Dalam mengemukakan ide-ide pendidikannya selalu berdasar pada referensi ayat-ayat al-Qur’an atau sunnah, dan ijma’ ulama. Jika tidak terdapat dalam ketiga sumber tersebut, ia melakukan ijtihad terutama menggunakan qiyas (analogi), dan kebahasaan. Jika para mujtahid berbeda pendapat tentang sesuatu hukum atau aturan sesuatu yang tidak terdapat dalam tiga sumber tersebut. Maka ia kembalikan pada perilaku sosial yang menyerupai keserupaan baik berupa (bentuk) maupun sifatnya.

Prinsip ijtihad menggunakan prilaku sosial, menurut Syekh Nawawi dikuatkan oleh Sunnah dan Asar (berita yang berasal dari sahabat). Model perincian dalil syar’inya ini bersesuaian dengan prinsip Imam syafi’i. Di samping itu ia juga menggunakan prindip-prinsip tarekat qadiriyah yang dididrikan oleh Syek Abdul Qadir Jilani yang hidup pada abad klasik (470-561 H/ 1166-1077 H).

Salah satu pemikiran Syekh Nawawi tentang tarekat adalah ungakapannya sebagai berikut: adapun orang-orang yang mengambil terekat, jika perkataan dan perbuatannya sesuai dengan syariat Nabi Muhammad sebagaimana ahli tarekat yang benar, tarekat yang diambilnya maqbul, jika tidak demikian, tentulah tarekatnya seperti yang banyak terjadi pada murid-murid Syekh Ismail Minangkabau. Mereka mencela dzikir Allah, mencela orang yang tidak masuk dalam tarekat.

Keempat, perkembangan pemikiran pada saat Syekh Nawawi berkecimpung di dunia akademik. Misalnya Syekh Nawawi mengutip pendapat Imam Nawawi sewaktu ia memeberikan etika pembelajar terhadap ilmu dan pemikiran Imam Ghazali (seorang pemikir abad klasik) tentang etika pendidik dan peserta didik serta dorongan menuntut ilmu. Lalu memperkuatnya dengan tesis-tesinya yang diambil dari ayat-ayat Al-qur’an, Sunnah, mengadakan qiyas (analogi) atau pemberian argument. Sebagai contoh Al-Ghazali menyatakan bahwa QS. Al Imran : 18 berkaitan betapa Allah memulai dengan diriNya, yang kedua malaikat, dan ketiganya para ahli ilmu. Kemudian Syekh Nawawi memberikan argumen bahwa pengurusan allah SWT, Malaikat, kemudian para ahli ilmu adalah menuntut ilmu merupakan kemuliaan dan keutamaan.

Disamping pemikiran abad klasik dan petengahan, model pendidikan Syekh Nawawi juga dipengaruhi pemikiran abad modern (1800 M), Hal ini terbukti dari konsepnya tentang pendidikan. Menurutnya pendidikan adalah ibadah sebagai reformasi sosial. Tujuan pendidikan baginya tidak cukup mardatillah dan kepentingan akhirat semata. Tetapi ia berkeyakinan bahwa Islam dapat berkembang dan eksis apabila dilandasi kaidah-kaidah keilmuan. Seseorang mencari ilmu tidak cukup agar dirinya pintar, tetapi juga harus dapat menghilangkan kebodohan orang lain. Dengan demiki setelah seorang berilmu, maka ia harus mentransfer dan mentransformasikan ilmunya kepada orang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar