Pertama, latar belakang pendidikan agama,
seperti pesantren. Pengetahuan agamanya yang mendalam nampak jelas dalam
berbagai model pendidikan yang dimunculkannya. Seperti selalu mengutip ayat-ayat
Al-Qur’an, Sunah nabi, perkataan sahabat, tabi’in tbi’ al tabi’in,
riwayat-riwayat lain sering kali tidak menyebutkan perawinya, dan perkataan
ulama ternama. Bahkan hadis yang sohihpun dijadikan sebagai referensi.
Dia berprinsip hadis dhaif pun tidak baik
diabaikan dan dapat dipergunakan untuk keutamaan beramal (fadail al-a’mal),
sebagaimana yang dikatakan Ibnu Hajar dalam Tanbih Al-Akhyar. Hadis dhaif pun
merupakan hujjah (argument) dalam fadail al-a’mal dengan kesepakatan ulama,
sebagaimana yang disebutkan dalam Syarh al-Muhazzab dan lainnya. Pendekatan
dengan pola pengamatan makna kebahasan banyak terdapat penafsirannya dalam kitab Qami’ al al-tugyan.
Hampir semua karyanya baik berupa Syarh, atau
hasyiyah atau karya asli dalam bahasa Arab, sekalipun dia berasal dari
Indonesia. Kedua, para pendidiknya juga mewarnai model pendidikan dan
kepribadian Syeikh Nawawi. Sebagaimana dikatakan oleh Ma’ruf Amin dan Anshory,
bahwa ulama yang cukup mewarnai prinsip keilmuan dalam model pendidikan Syeikh
Nawawi adalah (1) Syekh Sayyid Akhmad Nakhrawi dan (2) Syekh Sayyid Ahmad
Dimyati.
Sebab dua ulama inilah yang mula-mula
membimbing Syekh Nawawi dalam berbagai disiplin ilmu, membentuk karakternya
dengan sikap positif di dalam menghadapi gonvangan psikologi yang ada dan
mengajarinya untuk selalu memegang nilai-nilai agama dan menetapkan prinsip
akidah.
Disamping keduanya juga (3) Syekh sayyid Ahmad
Zaini Dahlan dan (4) Syekh Muhammad Khatib Hambali. Ketiga, ialah mazhab dan
tarekat yang dianutnya yakni mahzab Syafi’i dan tarekat qadiriyah. Dalam
mengemukakan ide-ide pendidikannya selalu berdasar pada referensi ayat-ayat
al-Qur’an atau sunnah, dan ijma’ ulama. Jika tidak terdapat dalam ketiga sumber
tersebut, ia melakukan ijtihad terutama menggunakan qiyas (analogi), dan
kebahasaan. Jika para mujtahid berbeda pendapat tentang sesuatu hukum atau
aturan sesuatu yang tidak terdapat dalam tiga sumber tersebut. Maka ia
kembalikan pada perilaku sosial yang menyerupai keserupaan baik berupa (bentuk)
maupun sifatnya.
Prinsip ijtihad menggunakan prilaku sosial,
menurut Syekh Nawawi dikuatkan oleh Sunnah dan Asar (berita yang berasal dari
sahabat). Model perincian dalil syar’inya ini bersesuaian dengan prinsip Imam
syafi’i. Di samping itu ia juga menggunakan prindip-prinsip tarekat qadiriyah
yang dididrikan oleh Syek Abdul Qadir Jilani yang hidup pada abad klasik
(470-561 H/ 1166-1077 H).
Salah satu pemikiran Syekh Nawawi tentang
tarekat adalah ungakapannya sebagai berikut: adapun orang-orang yang mengambil
terekat, jika perkataan dan perbuatannya sesuai dengan syariat Nabi Muhammad
sebagaimana ahli tarekat yang benar, tarekat yang diambilnya maqbul, jika tidak
demikian, tentulah tarekatnya seperti yang banyak terjadi pada murid-murid
Syekh Ismail Minangkabau. Mereka mencela dzikir Allah, mencela orang yang tidak
masuk dalam tarekat.
Keempat, perkembangan pemikiran pada saat
Syekh Nawawi berkecimpung di dunia akademik. Misalnya Syekh Nawawi mengutip
pendapat Imam Nawawi sewaktu ia memeberikan etika pembelajar terhadap ilmu dan
pemikiran Imam Ghazali (seorang pemikir abad klasik) tentang etika pendidik dan
peserta didik serta dorongan menuntut ilmu. Lalu memperkuatnya dengan
tesis-tesinya yang diambil dari ayat-ayat Al-qur’an, Sunnah, mengadakan qiyas
(analogi) atau pemberian argument. Sebagai contoh Al-Ghazali menyatakan bahwa
QS. Al Imran : 18 berkaitan betapa Allah memulai dengan diriNya, yang kedua
malaikat, dan ketiganya para ahli ilmu. Kemudian Syekh Nawawi memberikan
argumen bahwa pengurusan allah SWT, Malaikat, kemudian para ahli ilmu adalah
menuntut ilmu merupakan kemuliaan dan keutamaan.
Disamping pemikiran abad klasik dan
petengahan, model pendidikan Syekh Nawawi juga dipengaruhi pemikiran abad
modern (1800 M), Hal ini terbukti dari konsepnya tentang pendidikan. Menurutnya
pendidikan adalah ibadah sebagai reformasi sosial. Tujuan pendidikan baginya
tidak cukup mardatillah dan kepentingan akhirat semata. Tetapi ia berkeyakinan
bahwa Islam dapat berkembang dan eksis apabila dilandasi kaidah-kaidah
keilmuan. Seseorang mencari ilmu tidak cukup agar dirinya pintar, tetapi juga
harus dapat menghilangkan kebodohan orang lain. Dengan demiki setelah seorang
berilmu, maka ia harus mentransfer dan mentransformasikan ilmunya kepada orang
lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar